BAB 1: Lima Kaidah Utama yang Menjadi Rujukan Semua Permasalahan Fiqhiyah
(البابُ الأولُ: فِيْ الْقَوَاعِدِ الْخَمْسِ الْبَهِيَّةِ الَّتِيْ تُرْجَعُ إِلَيْهَا جَمِيْعُ الْمَسَائِلِ الْفِقْهِيَّةِ)
BAB 1: “Lima Kaidah Utama yang Menjadi Rujukan Semua Permasalahan Fiqhiyah”
Kaidah merupakan prinsip umum yang
mencakup beberapa juz, yang mana hukum juz-juz itu dapat dipahami dari
kaidah tersebut.
Syekh
Ibn Ahdal (w. 1035 H) dalam nadzomnya menuliskan bahwa:
الْفِقْهُ مَبْنِيٌّ عَلَى
قَوَاعِدِ خَمْسٍ
“Fikih itu terbangun dari lima kaidah.”
Kemudian syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi (w. 1201 H) menganalogikan jumlah itu dengan hadis berikut:
« بُنِيَ
الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ
وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ »
“Islam dibangun
diatas lima (landasan): persaksian tidak ada Tuhan
selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadlan.” (H.R. Bukhari, no. 8)
Beliau (syekh Al-Jarhazi) berkata: Begitu pula fikih seperti halnya Islam, dibangun atas 5 landasan.
Pada Bab 1 dalam kitab ini menjelaskan
5 kaidah umum, yang mana hukum seluruh permasalahan fikih itu tidak lepas dari
salah satu darinya. Kaidah tersebut yaitu:
١) الْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Segala Sesuatu Tergantung pada
Tujuannya”
Dasar hukum kaidah ini yaitu Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam:
« إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ »
“Sesungguhnya amalan itu tergantung kepada niatnya.” (H.R. Bukhari, no. 1, Abu Dawud no. 2201 & Ibnu Majah no. 4227)
٢) الْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
“Keyakinan
Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan”
Dasar pengambilan kaidah ini yaitu Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam:
« إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى؟ ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا؟ فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ »
“Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan, dan ambilah yang pasti (yaitu yang sedikit).” (H.R. Muslim no. 571)
٣) الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kesulitan Mendatangkan Kemudahan”
Dasar pengambilan kaidah ini yaitu Firman Allah ta'ala:
﴿... وَمَا
جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ ..﴾
“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran
untukmu dalam agama.” (Q.S. Al-Hajj [22]: 78)
٤) الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya
Harus Dihilangkan”
Dasar pengambilan kaidah ini yaitu Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salam:
« لَا ضَرَرَ وَلَا
ضِرَارَ »
“Tidak
boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (H.R. Ibnu Majah, no. 2340)
٥)
الْعَادَةُ الْمُحَكَّمَةُ
“Adat/Kebiasaan
Dijadikan Pijakan Hukum”
Dasar pengambilan kaidah ini yaitu Hadis Mauquf dari Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata:
« فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ »
“Maka apa yang dilihat oleh kaum muslimin satu kebaikan, maka di
sisi Allah adalah baik dan apa yang mereka pandang buruk, maka di sisi Allah
juga buruk.” (H.R. Ahmad)
Penjelasan kelima kaidah di atas secara lebih
detail akan dibahas satu persatu dalam tema kaidah masing-masing.
Perlu
diketahui bahwa ada sebagian ulama salah satunya seperti syaikh Izzudin bin
Abdissalam (w. 660 H) yang berpendapat bahwa penggagas seluruh permasalahan
fikih itu di kembalikan kepada satu kaidah saja, yaitu:
اِعْتِبَارُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ
الْمَفَاسِدِ
“Menarik kemashlahatan dan menolak kerusakan”
Sementara itu, syekh Tajuddin as-Subki (w. 771 H) berpendapat
bahwa permasalahan fikih dicukupkan hanya dengan kaidah:
اِعْتِبَارُ الْمَصَالِحِ
“Menarik kemaslahatan”
Syukron syekh
BalasHapus