Kaidah yang ke-3: Kesulitan Mendatangkan Kemudahan

 


الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
Kesulitan Mendatangkan Kemudahan”

A. Dasar Hukum Kaidah

1) Al-Qur’an

١) ﴿ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ 

“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (Q.S. Al-Hajj [22]: 78)

٢) ﴿ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(Q.S. Al-Baqarah [2]: 286)

٣) ﴿ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”(Q.S. Al-Baqarah [2]: 185)

٤) ﴿ يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.”(Q.S. An-Nisa [4]: 28)

2) Hadis

١) « بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ »

“Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran.” (H.R. Ahmad)

٢) « إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا، وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا »

Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira.” (H.R. Bukhari no. 39)

٣) « يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا، وَسَكِّنُوا وَلَا تُنَفِّرُوا »

Mudahkanlah setiap urusan dan janganlah kalian mempersulitnya, buatlah mereka tenang dan jangan membuat mereka lari.” (H.R. Bukhari no. 6125, Muslim no. 1734)

٤) « إِنَّ اللهَ شَرَعَ الدِّيْنَ، فَجَعَلَهُ سَهْلًا سَمْحًا وَاسِعًا وَلَمْ يَجْعَلْهُ ضَيِّقًا »

“Sungguh Allah mensyariatkan agama, dan menjadikannya dengan kemudahan, kemurahan, keluasan dan tidak menjadikannya dengan kesempitan.” (H.R. ath-Thabrani)

٥) « مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللهِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا أَيْسَرُ مِنْ الْآخَرِ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ »

Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diberi pilihan dari dua urusan atau pekerjaan, yang salah satunya lebih mudah dari pada yang lainnya, maka beliau memilih yang termudah, selama yang termudah itu tidak mengandung dosa. Jika perkara itu mengandung dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhkan diri dari padanya.” (H.R. Muslim no. 2327)

B. Maksud Kaidah

Tatkala suatu hukum terdapat kesulitan/kesukaran dalam pelaksanaannya, baik terhadap jiwa, raga maupun harta seorang mukalaf, maka syariat meringankannya sehingga tidak menimbulkan kesukaran lagi. Dan keringanan tersebut dalam Islam dikenal dengan istilah rukhsah.

C. Sebab-sebab Munculnya Keringanan (Rukhsah)

Syekh Ibn Ahdal (w. 1035 H) dalam nadzomnya menuliskan:

وَاعْلَمْ بِأَنَّ سَبَبَ التَّخْفِيْفِ ¤ فِي الشَّرْعِ سَبْعَةٌ بِلَا تَوْقِيْفِ

وَذَلِكَ الْإِكْرَاهُ وَالنِّسْيَانُ ¤ وَالْجَهْلُ وَالْعُسْرُ كَمَا أَبَانُوْا

وَسَفَرٌ وَمَرَضٌ وَنَقْصُ ¤ فَهَذِهِ السَّبْعَةُ فِيْمَا نَصُّوْا

“Ketahuilah, bahwa sebab munculnya keringanan dalam syariat ada tujuh, yaitu: 1) Keterpaksaan, 2) Lupa, 3) Ketidaktahuan, 4) Kesulitan, 5) Bepergian, 6) Sakit, 7) Sifat kekurangan. Inilah tujuh sebab yang dijelaskan oleh ulama.”

       Dari nadzom di atas dapat diketahui bahwasanya sebab-sebab keringanan (rukhsah) itu ada tujuh, yaitu:

1) Keterpaksaan (الْإِكْرَاهُ)

Adapun terkait bagaimanakah seseorang itu bisa dikatakan/dianggap terpaksa, maka dalam hal ini terdapat beberapa pandangan ulama:

● Ulama Irak berpendapat bahwa seseorang bisa dianggap terpaksa melakukan suatu perbuatan tatkala ia diancam akan dibunuh, pemukulan atau hartanya akan di rampas, dan bisa pula dengan hinaan serta celaan bagi orang yang memiliki pangkat dan kedudukan tinggi di masyarakat. (Pendapat ini dibenarkan pula oleh Imam ar-Rafi’i)

● Sedangkan Imam as-Suyuthi (w. 911 H) berpendapat bahwa syarat seseorang bisa dianggap terpaksa melakukan suatu perbuatan yang asalnya dilarang ialah tatkala sudah memenuhi beberapa hal, yaitu:

a) Pemaksa mampu mewujudkan ancamannya kepada orang yang dipaksa, karena memiliki kekuasaan ataupun kekuatan untuk mewujudkannya.

b) Lemahnya orang yang dipaksa untuk menolak perbuatan tersebut baik dengan cara melarikan diri, meminta bantuan orang lain ataupun dengan memberikan perlawanan.

c) Adanya dugaan dari orang yang dipaksa, bilamana tidak melakukan perbuatan tersebut, maka ancaman itu akan menimpanya.

d) Ancaman merupakan perbuatan yang diharamkan bagi pemaksa.

e) Ancaman akan segera direalisasikan bilamana perbuatan tersebut tidak dilaksanakan secepatnya.

f) Bentuk ancamannya jelas.

   g) Dengan melakukan perbuatan tersebut orang yang dipaksa bisa selamat dari ancaman.

Ada beberapa hal yang boleh dilakukan oleh seseorang dalam kondisi terpaksa, di antaranya sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Mawahib as-Saniyah yaitu:

a) Mengucapkan kalimat yang bisa menyebabkan kufur, dengan syarat hatinya tetap beriman kepada Allah Swt.

 Hal ini berdasarkan firman-Nya:

﴿ مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنُّۢ بِٱلۡإِيمَٰنِ

“Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).” (Q.S. An-Nahl [16]: 106)

Walaupun demikian, ternyata dalam masalah ini terdapat 3 pendapat ulama sebagaimana dalam kitab al-Mawahib as-Saniyah:

- Pendapat pertama: Meskipun dalam kondisi terpaksa seseorang boleh mengucapkan kalimat yang menyebabkan kufur, namun dalam kondisi seperti ini, yang lebih utama ialah mencegahnya, bersabar menetapi agama serta mengikuti jalan yang ditempuh ulama.

- Pendapat kedua: Dalam kondisi seperti ini, yang lebih utama ialah mengucapkan kalimat tersebut (kalimat yang menyebabkan kufur) untuk menjaga diri (kelangsungan hidup).

- Pendapat ketiga: Dalam kondisi seperti ini, bilamana orang yang dipaksa untuk melakukan kekufuran tersebut ialah orang yang tergolong memiliki keistimewaan dapat mengalahkan musuh (di kemudian hari sehingga sangat dibutuhkan di kalangan masyarakat), serta mampu menegakkan hukum-hukum syariat, maka dalam hal ini yang lebih utama ialah melaksanakan paksaan tersebut agar selamat kelangsungan hidupnya dan mampu meneruskan perjuangannya. Dan jika tidak demikian, maka hal itu tidak berlaku dan yang paling utama ialah tidak melakukan paksaan tersebut.

b) Mengonsumsi minuman keras untuk menyelamatkan nyawa.

   Misalnya seperti orang yang tersedak dan tidak menemukan air sama sekali, ia diperbolehkan meminumnya dengan syarat bila tidak meminumnya maka akan mati. Dan tentu saja dalam mengonsumsinya itu tidak boleh melebihi kadar kebutuhannya serta tidak melampaui batas sebagaimana Allah berfirman:

﴿ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ 

“Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 173)

Perlu diketahui bahwa melakukan perbuatan yang asalnya dilarang syariat dalam kondisi terpaksa tidak berlaku secara mutlak. Ada beberapa hal yang meskipun dalam kondisi terpaksa tetap saja tidak boleh dilakukan, sebagaimana dalam kitab al-Mawahib as-Saniyah, yaitu:

a) Zina

    Yakni orang yang dipaksa berzina, walaupun seandainya jika ia menolak perbuatan tersebut ancamannya ialah dengan dibunuh, maka dalam hal ini ia tetap haram melakukannya. Alasannya sebagaimana yang diungkapkan oleh Syekh Yasin al-Fadani dalam kitabnya al-Fawaid al-Janiyah yaitu:

لِأَنَّ مَفْسَدَتَهُ أَفْحَشُ مِنَ الصَّبْرِ عَلَى الْقَتْلِ

“Karena kerusakan yang ditimbulkan zina lebih besar dibandingkan dengan bersabar walaupun harus terbunuh.”

Adapun terkait apakah orang yang dipaksa berzina terkena hukuman had ataukah tidak, maka dalam hal ini terdapat 2 pendapat ulama, sebagaimana dalam kitab al-Hudud fi al-Fiqh asy-Syafi’i karya al-Ustadz Dr. Ibrahim Abdul Aziz (Dosen FDI Univ. Al-Azhar, kairo), yaitu:

● Pendapat pertama:

لَا يُقَامُ عَلَى الْمُكْرَهِ عَلَى الزِّنَا حَدٌّ، رَجُلًا كَانَ أَمِ امْرَأَةً. وَالْأَدِلَّةُ كَثِيْرَةٌ عَلَى نَفْيِ الْحَدِّ زِنَا الْمَكْرُوْهَةِ، مِنْهَا:

“Tidak ditetapkan hukuman had terhadap orang yang dipaksa berzina, baik itu lelaki ataupun perempuan. Dan dalil bahwa tidak dikenakannya hukuman had terhadap orang yang dipaksa banyak, di antaranya yaitu:

١) قَالَ رَسُولُ الله : « إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ »

Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” (H.R. Ibnu Majah no. 2043)

٢) قَالَ رَسُولُ الله : « اسْتُكْرِهَتْ امْرَأَةٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ فَدَرَأَ عَنْهَا الْحَدَّ وَأَقَامَهُ عَلَى الَّذِي أَصَابَهَا وَلَمْ يَذْكُرْ أَنَّهُ جَعَلَ لَهَا مَهْرًا »

Seorang wanita dipaksa melakukan hubungan seksual di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian hukuman hudud tidak diberlakukan padanya. Akhirnya hukuman hudud tersebut dilaksanakan pada laki-laki yang menodainya, dimana ia tidak mengemukakan bahwa dirinya telah memberikan maskawin kepada wanita tersebut.” (H.R. Ibnu Majah no.2598)

Dalam masalah ini, al-Ustadz Dr. Ibrahim Abdul Aziz lebih mengunggulkan pendapat yang pertama, beliau berpendapat:

الرَّاجِحُ أَنَّ لَا حَدَّ عَلَى الْمُكْرَهِ لِعُمُوْمِ الْأَدِلَّةِ الثَّابِتَةِ، أَمَّا الْاِنْتِشَارُ فَيَأْتِيْ جَائِزًا مَعَ الْخَوْفِ بِالْمُلَامَسَةِ أَوِ الْمُبَاشَرَةِ وَالْإِنْسَانُ لَا دَخَلَ لَهُ فِيْمَا فُطِرَ عَلَيْهِ.

 “Pendapat yang unggul ialah yang menyatakan bahwa tidak adanya hukuman had terhadap orang yang dipaksa berzina karena keumuman argumen (hadis) yang kuat, adapun (perihal) ereksi, maka itu bisa saja terjadi walaupun dalam keadaan takut sebab adanya sentuhan ataupun sanggama, dan manusia dalam hal ini tidak bisa mengendalikan sepenuhnya karena diciptakan dengan tabiat demikian.”

● Pendapat kedua:

إِنَّ الْحَدَّ يُقَامُ عَلَى الرَّجُلِ الْمُكْرَهِ عَلَى الزِّنَا، لِأَنَّهُ لَا يَتَصَوَّرُ الْاِنْتِشَارُ مَعَ الْخَوْفِ وَالرُّعْبِ، فَبِالْاِنْتِشَارِ زَالَ الْإِكْرَاهُ فَيُقَامُ عَلَيْهِ الْحَدُّ.

“Sesungguhnya hukuman had itu ditetapkan kepada lelaki yang dipaksa berzina, karena tidak terbayang (bagaimana mungkin terjadi) ereksi tatkala dalam keadaan cemas dan takut, maka dengan adanya ereksi itulah keterpaksaan itu menjadi hilang, lantas ditetapkanlah hukuman had kepadanya.”

Sedangkan Syekh Yasin al-Fadani (w. 1410 H) dalam masalah ini lebih cenderung pada pendapat kedua, sebagaimana yang terdapat dalam kitabnya ­al-Fawaid al-Janiyah:

سَوَاءٌ كَانَ الْمُكْرَهُ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً فَيُحَدُّ مَنْ زَنَى بِالْإِكْرَاهِ

“(kerusakan yang ditimbulkan zina lebih besar) Baik itu orang yang dipaksanya lelaki ataupun perempuan, maka tetap dijatuhkan hukuman had kepada orang yang telah berzina karena terpaksa.”

*Dalam hal ini, perbuatan homoseksual (anal seks) disamakan dengan zina, yakni tidak diperbolehkan melakukannya walaupun saat dipaksa, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Raudhah ath-Thalibin.

b) Membunuh

   Yakni orang yang dipaksa untuk membunuh orang lain, dan bila menolaknya diancam akan dibunuh, maka dalam hal ini ia tetap haram melakukannya. Sebagaimana Imam ar-Rafi’i (w. 623 H) berpendapat bahwa: “Orang yang dipaksa membunuh dengan ancaman akan dibunuh atau dengan sesuatu yang dapat menyebabkannya terbunuh, maka dalam hal ini tidak dapat dianggap terpaksa.”

  Kemudian jika seseorang tetap melakukan pembunuhan walaupun terpaksa, apakah orang yang menyuruhnya juga mendapat hukuman qishash? Maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara ulama sebagaimana yang terdapat dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihatul Muqtashid karya Imam Ibn Rusyd (w. 595 H) yaitu:

  ● Imam Malik (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Imam ats-Tsauri (w. 161 H), Imam Ahmad (w. 241 H), Imam Abu Tsur al-Kalbi (w. 240 H) dan mayoritas ulama lainnya berpendapat:

الْقَتْلُ عَلَى الْمُبَاشِرِ دُوْنَ الْآمِرِ، وَيُعَاقَبُ الْآمِرُ

“Yang dihukum mati ialah pelaku langsung pembunuhan, bukan pemberi perintah pembunuhan, sedangkan pemberi perintah pembunuhan diberikan hukuman.”

Sebagian kelompok lain berpendapat:

يُقْتَلَانِ جَمِيْعًا

“Keduanya dihukum mati.”

2) Lupa (النِّسْيَانُ)

Syekh Yasin al-Fadani memberikan definisi lupa sebagai berikut:

النِّسْيَانُ هُوَ عَدَمُ اسْتِحْضَارِ الشَّيْءِ وَقْتَ الْحَاجَةِ، فَيَشْمُلُ السَّهْوَ

“Lupa (an-nisyan) ialah ketidakmampuan menghadirkan sesuatu (dalam hati) ketika saat dibutuhkan, dan ini mencakup kelengahan (as-sahw).”

Dengan sebab lupa, dosa bisa dihindarkan. Misalnya seperti: Seseorang lupa makan dan minum ataupun bersetubuh dengan istrinya di bulan Ramadhan, pada saat itu ia pun sedang dalam keadaan berpuasa, maka dalam hal ini puasanya tidak batal dan juga tidak wajib membayar kafarat, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

« مَنْ أَفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ »

Barangsiapa berbuka di bulan Ramadhan dalam keadaan lupa, maka tidak ada qadha dan kafarah atas dirinya.” (H.R. Daruquthni)

Syekh Khatib Asy-Syarbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj menyebutkan bahwa:

 الْجِمَاعُ نَاسِيًا كَالْأَكْلِ نَاسِيًا فَلَا يَفْطُرُ بِهِ عَلَى الْمَذْهَبِ

“Melakukan jima karena lupa sama halnya seperti makan karena lupa, maka hal ini tidak membatalkan puasa menurut pendapat mazhab (syafi’i).”

Terkait pembahasan hukum lupa ini, lantas Syekh Yasin al-Fadani dalam kitabnya al-Fawaid al-Janiyah memperinci hukumnya sebagaimana berikut:

a) Jika terkait meninggalkan perintah, maka perintah tersebut tidak gugur, akan tetapi ia wajib melakukannya, dan pahalanya juga tidak didapatkan karena tidak melaksanakan perintah.

b) Jika terkait melakukan perbuatan yang dilarang, maka:

- Bilamana tidak merusak hak orang lain, maka ia tidak terkena tanggungan apapun.

- Bilamana merusak hak orang lain, maka ia wajib menggantinya.

- Bilamana mestinya diberi hukuman, maka lupanya itu menjadi alasan untuk menggugurkan hukuman itu.

3) Ketidaktahuan (الْجَهْلُ)

Orang yang tidak mengetahui tentang hukum syariat, misalnya seperti orang yang baru masuk islam (mualaf), karena tidak tahu, lantas ia memakan makanan/meminum minuman yang diharamkan oleh syariat, maka dalam hal ini tidak dikenai sanksi.

Atau contoh lain misalnya yaitu orang yang tidak mengetahui hukum syariat, seperti berbicara saat salat, maka salatnya tidak dihukumi batal.

Akan tetapi perlu diketahui bahwa dalam hal ini terdapat kaidah lain yang menyatakan:

لَا يُقْبَلُ فِيْ دَارِ الْإِسْلَامِ عُذْرُ الْجَهْلِ بِالْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ

“Tidak diterima di negeri muslim alasan tidak tahu tentang hukum syariat (Islam).”

Kaidah ini berlaku bagi orang-orang yang tidak mau mempelajari ilmu agama lebih dalam, tidak menanyakan hukum yang tidak diketahuinya kepada orang yang lebih mengetahui seperti tidak bertanya kepada kiai ataupun ustad misalnya, maka dalam negeri yang mayoritasnya muslim tentu saja kemungkinan untuk tahu telah ada. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:

﴿ فَسْئَلُوْآ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl [16]: 43)

4) Kesulitan (الْعُسْرُ)

Yakni kesulitan menjauhi najis, seperti adanya debu jalanan bertebaran saat ada angin yang mana pada umumnya debu tersebut tercampur dengan kotoran hewan ataupun yang lainnya sehingga mengenai pakaian maupun sarung yang dipakai untuk salat, dan tentunya ini sulit untuk dihindari dan sudah familiar di kalangan masyarakat, maka dalam kasus ini, hal tersebut dianggap sebagai rukhsah.

5) Bepergian (السَّفَرُ)

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berpendapat bahwa rukhsah bagi musafir ada 8, yang mana terbagi menjadi 4 kategori:

a) Rukhsah yang hanya berlaku pada perjalanan jauh tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama, yaitu: 1) qashr salat, 2) tidak puasa dan 3) mengusap muzah lebih dari sehari semalam.

b) Rukhsah yang tidak hanya berlaku pada perjalanan jauh tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama, yaitu: 4) meninggalkan salat jumat dan 5) memakan bangkai.

c) Rukhsah yang masih diperselisihkan oleh ulama, yang mana menurut pendapat ashah hanya berlaku pada perjalanan jauh, yaitu: 6) menjama’ salat.

d) Rukhsah yang masih diperselisihkan oleh ulama, yang mana menurut pendapat ashah tidak hanya berlaku pada perjalanan jauh, yaitu: 7) salat sunah di atas kendaraan dan 8) gugurnya suatu fardhu dengan tayamum.

6) Sakit (الْمَرَضُ)

Di antara rukhsah ini yaitu:

a) Tidak berpuasa pada bulan Ramadhan sebagaimana Allah berfirman:

﴿ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 185)

b) Melakukan tayamum tatkala khawatir jika menggunakan air, maka akan semakin bertambah parah sakitnya dan tentunya harus menggunakan tanah yang suci dan berdebu sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

« جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا »

“Dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci.” (H.R. Bukhari no. 335)

*Perkataan “bumi” di hadis tersebut mencakup tanah, pasir dan juga batu.

c) Tidak berjamaah  dan tidak wajib salat jumat (cukup salat zuhur di rumah).

d) Jika salatnya tidak mampu berdiri, bisa dengan duduk iftirasy, jika tidak mampu pula bisa dengan berbaring sebagaimana terdapat keterangan dalam kitab al-Ghayah wa at-Taqrib karya Abu Syuja’ (w. 593), yaitu:

وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ فِي الْفَرِيْضَةِ صَلَّى جَالِسًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْجُلُوْسِ صَلَّى مُضْطَجِعًا.

“Dan barang siapa tidak mampu berdiri saat (melaksanakan) salat fardhu, maka hendaknya ia salat sambil duduk (iftirasy), dan barang siapa tidak mampu duduk, maka hendaknya ia salat sambil berbaring.”

Kemudian Syekh Ibnu Qosim al-Ghozi (w. 918) dalam kitabnya Syarh Fathu al-Qorib menambahkan:

فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الْاِضْطِجَاعِ صَلَّى مُسْتَلْقِيًا عَلَى ظَهْرِهِ وَرِجْلَاهُ لِلْقِبْلَةِ، فَإِنْ عَجَزَ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ صَلَّى أَوْمَأَ بِطَرْفِهِ وَنَوَى بِقَلْبِه، وَيَجِبُ عَلْيْهِ اِسْتِقْبَالُهَا بِوَجْهِهِ بِوَضْعِ شَيْءٍ تَحْتَ رَأْسِهِ وَيُوْمِئُ بِرَأْسِهِ فِيْ رُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ.

“Jika tidak mampu berbaring, maka hendaknya ia salat dengan telentang di atas punggung dan kedua kakinya menghadap kiblat, jika tidak mampu melakukan semua itu, maka hendaknya ia memberi isyarat dengan mata disertai niat dalam hati, namun demikian ia wajib (mukanya) menghadap ke arah kiblat, caranya adalah bagian bawah kepala diberi alas (bantal atau semisalnya) dan berisyarat (dengan kepalanya pula) pada saat sedang rukuk maupun sujudnya.”

فَإِنْ عَجَزَ عَلَى الْإِيْمَاءِ بِرَأْسِهِ أَوْمَأَ بِأَجْفَانِهِ، فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الْإِيْمَاءِ بِهَا أَجْرَى أَرْكَانَ الصَّلَاةِ عَلَى قَلْبِهِ وَلَا يَتْرُكُهَا مَادَامَ عَقْلُهُ ثَابِتًا.

“Jika tidak mampu berisyarat dengan kepala, maka hendaknya ia salat dengan menggunakan isyarat kedipan mata, jika hal tersebut tidak bisa juga, maka hendaknya ia melakukan segala rukun salat dengan hatinya, dan jangan sampai ia meninggalkan salat selama akalnya masih ada (tidak gila).”

e) Bisa menjamak dua salat dalam satu waktu sebagaimana pendapat Imam an-Nawawi (w. 676 H), Imam as-Subki (w. 771 H), Imam al-Isnawi (w. 772) dan Imam al-Bulqini (w. 824). Sebagaimana terdapat hadis:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ.

(فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ) قَالَ: قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ.

Dari Ibnu Abbas katanya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya` di Madinah, bukan karena ketakutan dan bukan pula karena hujan.”

Dalam hadis Waki', katanya: aku tanyakan kepada Ibnu Abbas: Mengapa beliau lakukan hal itu? Dia menjawab: Beliau ingin supaya tidak memberatkan umatnya.” (H.R. Muslim no.705)

f) Diperbolehkannya memakai pakaian sutera bagi lelaki yang mempunyai penyakit kudis/kurap, sebagaimana terdapat sebuah hadis yang menyatakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ « رَخَّصَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَالزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ فِي الْقُمُصِ الْحَرِيرِ فِي السَّفَرِ مِنْ حِكَّةٍ كَانَتْ بِهِمَا أَوْ وَجَعٍ كَانَ بِهِمَا »

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan dispensasi (keringanan) kepada Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam untuk mengenakan pakaian sutera dalam perjalanan karena adanya penyakit gatal-gatal atau penyakit lain yang menimpa mereka berdua.” (H.R. Muslim no. 2076)

g) Boleh berobat dengan barang najis sebagaimana pendapat Imam as-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya al-Asybah wa an-Nadzair.

Akan tetapi dalam masalah ini bagusnya mencari opsi lain, yaitu dengan mengonsumsi obat yang halal selagi ada, sebagaimana terdapat sebuah hadis yang menyatakan:

أَنَّ طَارِقَ بْنَ سُوَيْدٍ الْجُعْفِيَّ سَأَلَ النَّبِيَّ عَنْ الْخَمْرِ؟ فَنَهَاهُ، أَوْ كَرِهَ أَنْ يَصْنَعَهَا، فَقَالَ: إِنَّمَا أَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ، فَقَالَ: « إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ، وَلَكِنَّهُ دَاءٌ »

“Bahwasanya Thariq bin Suwaid Al Ju'fi pernah bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai khamer, maka beliau pun melarangnya atau benci membuatnya. Lalu dia berkata: Saya membuatnya hanya untuk obat. Maka beliau bersabda: Khamar itu bukanlah obat, akan tetapi ia adalah penyakit.” (H.R. Muslim no. 1984)

7) Sifat Kurang (النَّقْصُ)

Syekh Ibn al-Jarhazi (w. 1210) menuliskan dalam kitabnya al-Mawahib as-Saniyah sebagaimana berikut:

وَنَقْصٌ ضِدُّ الْكَمَالِ، فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يُحِبُّ الْكَمَالَ وَيَكْرَهُ النَّقْصَ، فَشُرِعَ النَّقْصُ أَيْ التَّخْفِيْفُ فِي التَّكْلِيْفَاتِ.

“Dan sifat kurang merupakan kebalikan dari sifat sempurna. Maka (pada dasarnya) manusia itu menyukai kesempurnaan dan tidak menyukai kekurangan, oleh sebab itulah syariat memberikan keringanan bagi orang yang memiliki kekurangan.”

Misalnya seperti:

a) Tidak wajibnya salat jumat bagi perempuan, anak-anak, dan hamba sahaya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

« الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوْ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ »

Jum'at itu wajib bagi setiap Muslim dengan berjama'ah, kecuali empat golongan, yaitu: hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sakit.” (H.R. Abu Dawud no. 1067)

b) Tidak ada taklif bagi orang tidur, anak kecil dan orang gila, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

« رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ »

Pena (pencatat amal dan dosa) itu diangkat dari tiga golongan yaitu : orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa, dan dari orang yang gila hingga ia berakal atau sadar.” (H.R. Nasai no. 3432)

D. Batas Kesulitan (Masyaqqah) itu Berbeda-beda

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَالْقَوْلُ فِيْ ضَبْطِ الْمَشَاقِ مُخْتَلِفْ ¤ بِحَسَبِ الْأَحْوَالِ فِيْمَا قَدْ عُرِفْ

“Pembahasan tentang batas kesulitan berbeda-beda sesuai keadaan yang dihadapi.”

     Dari nadzom di atas dapat diketahui bahwa kesulitan (masyaqqah) itu bersifat individual, antara satu orang dengan orang lainnya itu bisa berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang di hadapi.

     Akan tetapi bukan berarti setiap orang yang mengalami masyaqqah mendapatkan keringanan dalam pelaksanaan ibadahnya, hal ini disebabkan karena ada standar-standar tertentu yang harus terpenuhi sehingga seseorang itu bisa mendapatkan keringanan, sebagaimana pemaparan berikut:

  • Batas Kesulitan yang Menyebabkan Keringanan (Masyaqqah al-Maqdhiyyah Li St-Takhfif)

Perlu diketahui bahwa secara garis besar, Masyaqqah itu terbagi menjadi dua, yaitu:

1) Masyaqqah yang secara umum tidak terlepas dari ibadah/ketaatan

Misalnya seperti:

- Kesulitan/kepayahan berwudu karena dinginnya air tersebut terlebih jika menjelang subuh sehingga terasa berat,

- Kesulitan/kepayahan berpuasa yang dilakukan sehari penuh (dari terbit fajar sampai terbenam matahari) saat musim panas sehingga terasa berat,

- Kepayahan menempuh perjalanan haji sehingga terasa berat dll.

Maka semua Masyaqqah di atas maupun yang semacamnya tidak menyebabkan keringanan dalam ibadah/ketaatan kepada Allah, misalnya diganti dengan tayamum begitu saja, membatalkan puasanya begitu saja dan tidak melanjutkan rangkaian hajinya. Karena jika diperbolehkan keringanan dalam masyaqqah tersebut, maka akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah/ketaatan serta menyebabkan lalainya manusia dalam melaksanakan ibadah.

Kecuali jika masyaqqah tersebut bisa sampai membahayakan jiwa maupun raga, maka itu bisa menyebabkan keringanan (takhfif) dalam pelaksanaannya.

Kemudian syekh Izzudin bin Abdissalam (w. 660 H) mengisyaratkan:

أَنَّ الْأَوْلَى فِيْ ضَبْطِ مَشَاقِ الْعِبَادَاتِ: أَنْ تَضْبَطَ مَشَقَّةُ كُلِّ عِبَادَةٍ بِأَدْنَى الْمَشَاقِ الْمُعْتَبَرَةِ فِيْ تَخْفِيْفِ تِلْكَ الْعِبَادَةِ، فَإِنْ كَانَتْ مِثْلَهَا أَوْ أَزْيَدَ، ثَبَتَتِ الرُّخْصَةُ.

“Bahwasanya yang lebih utama untuk mengetahui batas masyaqqah dalam ibadah: ialah mengamati masyaqqah setiap ibadah dengan membandingkan pada masyaqqah yang paling rendah yang diakui keringanannya dalam ibadah tersebut. Bila menyamai atau bahkan melebihi (masyaqqahnya), maka ditetapkan keringan (karena termasuk kategori masyaqqah al-maqdhiyah li at-takhfif).”

Dengan demikian, kesulitan (masyaqqah) bagi orang sakit yang bisa memperbolehkannya untuk tidak berpuasa harus melebihi masyaqqah orang yang berpuasa dalam perjalanan.

Begitu pula terkait kebolehan melakukan suatu perkara yang dilarang saat ihram minimal harus menyamai masyaqqah orang ihram yang terkena kutu yang jelas-jelas mendapatkan keringanan (rukhsah) memotong rambutnya walaupun harus melaksanakan fidyah, sebagaimana Allah berfirman:

﴿ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ بِهِۦٓ أَذٗى مِّن رَّأۡسِهِۦ فَفِدۡيَةٞ مِّن صِيَامٍ أَوۡ صَدَقَةٍ أَوۡ نُسُكٖۚ

“Jika di antara kamu ada yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 196)

     Sedangkan untuk keringanan (takhfif ) bolehnya tidak melaksanakan ibadah haji bagi orang yang sudah mampu, maka tingkat kesulitan (masyaqqah)nya itu tidak cukup dengan menyamai masyaqqah dalam kebolehan melakukan larangan bagi orang ihram (sebagaimana contoh yang di atas), namun dalam kasus ini ia harus mencapai taraf kesulitan seperti khawatir membahayakan keselamatan jiwa ataupun raga.

2) Masyaqqah yang pada umumnya bisa terlepas dari ibadah

Masyaqqah yang kedua ini ada tiga tingkatan sebagaimana dalam kitab al-Asybah wa an-Nadzair, yaitu:

a) Kesulitan yang berat (مَشَقَّةٌ عَظِيْمَةٌ)

Misalnya seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa atau rusaknya raga, maka masyaqqah seperti inilah yang bisa menyebabkan keringanan (takhfif) dari syariat. Alasannya karena menjaga keselamatan itu jauh lebih penting daripada melakukan ibadah yang mengancam keselamatan jiwa maupun raga.

b) Kesulitan yang sedang (مَشَقَّةٌ مُتَوَسِّطَةٌ)

Maksudnya yaitu pertengahan, tidak berat juga tidak ringan. Misalnya seperti orang sakit panas.

Untuk menentukan apakah penyakitnya dapat menyebabkan keringanan (takhfif) atau tidak, maka masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, yakni apabila penyakit itu lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada keringanan di situ (masyaqqah al-maqdhiyah li at-takhfif). Akan tetapi, apabila ternyata penyakit itu lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada keringanan di situ (tidak termasuk masyaqqah al-maqdhiyah li at-takhfif). Inilah yang bersifat individual.

c) Kesulitan yang ringan (مَشَقَّةٌ خَفِيْفَةٌ)

Misalnya seperti sakit kepala ringan, batuk ataupun pilek yang disebabkan oleh cuaca yang kurang baik. Masyaqqah semacam ini bisa ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara di balur dengan minyak kayu putih kemudian menggunakan jaket bila perlu, sehingga hal tersebut tidak termasuk masyaqqah al-maqdhiyah li at-takhfif, sebab melakukan ibadah itu jauh lebih utama daripada masyaqqah yang ringan.

E. Macam-macam Keringanan (Takhfif)

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَالشَّرْعُ تَخْفِيْفَاتُهُ تَنْقَسِمُ ¤ سِتَّةَ أَنْوَاعٍ كَمَا قَدْ رَسَمُوْا

تَخْفِيْفُ إِسْقَاطٍ وَتَنْقِيْصٍ يَلِيْ ¤ تَخْفِيْفُ إِبْدَالٍ وَتَقْدِيْمٍ جَلِيْ

تَخْفِيْفُ تَأْخِيْرٍ وَتَرْخِيْصٍ وَقَدْ ¤ تَخْفِيْفُ تَغْيِيْرٍ يُزَادُ فَلْيُعَدْ

“Keringanan syariat ada 6 macam, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama, yaitu keringanan yang bersifat: 1) menggugurkan, 2) mengurangi, 3) mengganti, 4) mendahulukan, 5) mengakhirkan, 6) rukhsah dan ditambah satu lagi 7) perubahan.”

Dari nadzom di atas dapat diketahui bahwa keringanan (takhfif) karena adanya kesulitan (masyaqqah) ada tujuh macam, 1 s/d 6 merupakan pendapat Syekh Izzudin bin Abdisalam (w. 660 H) dan tambahan satunya lagi yang ke 7 merupakan pendapat Syekh al-‘Ala’i (w. 761 H).

1) Takhfif Isqath

Yaitu keringanan yang bersifat menggugurkan kewajiban, seperti:

a) Kewajiban salat bisa gugur bagi wanita yang sedang menstruasi maupun nifas, dan tidak perlu di qadla salatnya sebagaimana terdapat sebuah hadis yang menyatakan:

أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ لِعَائِشَةَ: أَتَجْزِي إِحْدَانَا صَلَاتَهَا إِذَا طَهُرَتْ؟ فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِيِّ فَلَا يَأْمُرُنَا بِهِ. أَوْ قَالَتْ: فَلَا نَفْعَلُهُ

Ada seorang wanita bertanya kepada 'Aisyah: "Apakah seorang dari kita harus melaksanakan shalat yang ditinggalkannya bila sudah suci?" 'Aisyah menjawab: "Apakah kamu dari kelompok Khawarij! Sungguh kami pernah mengalami haid di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau tidak memerintahkan kami untuk itu." Atau Aisyah mengatakan: "Kami tidak melakukannya (mengqadla`).” (H.R. Bukhari no. 321)

b) Kewajiban salat jumat bisa gugur dengan sebab hujan deras yang membasahi baju, dan diganti dengan salat zuhur di rumah, sebagaimana terdapat hadis yang menyatakan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: إِذَا قُلْتَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، فَلَا تَقُلْ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ. قُلْ: صَلُّوا فِي بُيُوتِكُم.ْ

قَالَ: فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ. فَقَالَ: أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا؟ قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي. إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ. وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُخْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ.

“Dari Abdullah bin Abbas bahwasanya dia mengatakan kepada muadzinnya ketika turun hujan, jika engkau telah mengucapkan "Asyhadu an laa ilaaha illallaah, asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, " maka janganlah kamu mengucapkan "Hayya alash shalaah, " namun ucapkanlah shalluu fii buyuutikum (Shalatlah kalian di persinggahan kalian)."

Abdullah bin Abbas berkata: "Ternyata orang-orang sepertinya tidak menyetujui hal ini, lalu ia berkata: "Apakah kalian merasa heran terhadap ini semua? Padahal yang demikian pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku. Shalat jum'at memang wajib, namun aku tidak suka jika harus membuat kalian keluar sehingga kalian berjalan di lumpur dan comberan.” (H.R. Muslim no. 699)

c) Kewajiban haji bisa gugur tatkala ada kekhawatiran atas keselamatan jiwa maupun raga.

2) Takhfif Tanqish

Yaitu keringanan yang bersifat mengurangi kewajiban, seperti:

a) Keringanan bagi musafir untuk mengqasar salat fardhu yang asalnya 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:

﴿ وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ إِنَّ ٱلۡكَٰفِرِينَ كَانُواْ لَكُمۡ عَدُوّٗا مُّبِينٗا

“Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqasar salat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. An-Nisa [4]: 101)

Kemudian terdapat keterangan hadis sebagai berikut:

عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ: قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: { لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا }(النساء: ١٠١)، فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ. فَقَالَ: عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ. فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ عَنْ ذَلِكَ. فَقَالَ: « صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ »

Dari Ya'la bin 'Umayyah,, ia berkata: "Aku berkata kepada Umar bin Khattab mengenai ayat yang berbunyi Tak ada dosa atasmu meng-qashar shalat, jika kamu khawatir terhadap orang-orang kafir yang hendak memberi cobaan kepadamu." QS. Annisa': 101, sementara manusia saat ini dalam kondisi aman (maksudnya tidak dalam kondisi perang)." Umar menjawab: "Sungguh aku juga pernah penasaran tentang ayat itu sebagaimana kamu penasaran, lalu aku tanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang ayat tersebut, beliau lalu menjawab: "Itu (mengqashar shalat) adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian. Oleh karena itu, terimalah sedekah-Nya.” (H.R. Muslim no. 685)

 *Namun ulama berbeda pendapat perihal jarak yang harus ditempuh tatkala akan melaksanakan qashr salat. Sebagian ulama berpendapat sekurang-kurangnya 80,640 km (pendapat ini merupakan yang diambil oleh alm. H. Sulaiman Rasjid dalam bukunya yang berjudul Fiqh Islam), sebagian lain mengatakan 88,704 km. Ulama Hanafiyah berpendapat 96 km, sementara ulama lain berpendapat 119 km.

3) Takhfif Ibdal

Yaitu keringanan yang bersifat mengganti kewajiban ibadah, seperti:

a) Melakukan tayamum dengan memenuhi syarat-syaratnya (seperti adanya uzur, sudah diusahakan mencari air tapi tidak dapat, sudah masuk waktu salat dan dengan tanah suci yang berdebu) sebagai pengganti yang mana semestinya wajib berwudu/mandi besar dengan air. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:

﴿ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kaskus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 6)

b) Melakukan salat dengan cara duduk ataupun berbaring sebagai pengganti yang mana semestinya wajib berdiri. Namun perlu diketahui bahwa dalam hal ini terdapat keterangan hadis sebagai berikut:

عَنْ عِمْرَانَ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ عَنْ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَهُوَ قَاعِدٌ فَقَالَ : « مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ »

Dari Imran ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seseorang yang melaksanakan shalat dengan duduk. Maka Beliau menjawab: Siapa yang shalat dengan berdiri maka itu lebih utama. Dan siapa yang melaksanakan shalat dengan duduk maka baginya setengah pahala dari orang yang shalat dengan berdiri dan siapa yang shalat dengan tidur (berbaring) maka baginya setengah pahala orang yang shalat dengan duduk.” (H.R. Bukhari no. 1116)

4) Takhfif Taqdim

Yaitu keringanan yang bersifat mendahulukan dari waktu yang sudah ditetapkan, seperti:

a) Bolehnya menggabungkan pelaksanaan dua salat dalam satu waktu dengan cara memajukan salat yang belum masuk waktu ke dalam salat yang telah masuk waktunya (seperti penggabungan salat Asar dengan salat Zuhur pada waktu Zuhur atau pelaksanaan salat Isya dengan salat Magrib pada waktu Magrib) bagi musafir. Sebagaimana terdapat keterangan hadis sebagai berikut:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ، أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إِلَى الْعَصْرِ، فَيُصَلِّيَهُمَا جَمِيعًا، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ، صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ سَارَ، وَكَانَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ الْمَغْرِبَ، أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْعِشَاءِ، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ عَجَّلَ الْعِشَاءَ، فَصَلَّاهَا مَعَ الْمَغْرِبِ.

Dari Mu'adz bin Jabal bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Perang Tabuk, apabila beliau berangkat sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan waktu Dhuhur hingga beliau menjama' di waktu Ashar, dan apabila berangkat setelah matahari tergelincir, beliau shalat Dhuhur dan Ashar, setelah itu beliau berangkat, dan apabila hendak berangkat sebelum Maghrib, beliau mengakhirkan shalat Maghrib hingga beliau mengerjakannya dengan shalat Isya, jika beliau berangkat selepas Maghrib, maka beliau memajukan shalat Isya' sehingga beliau kerjakan shalat maghrib dan Isya.” (H.R Abu Dawud no. 1220)

b) Bolehnya mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum haul (genap setahun). Sebagaimana terdapat keterangan hadis sebagai berikut:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ الْعَبَّاسَ سَأَلَ النَّبِيَّ فِي تَعْجِيلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ. فَرَخَّصَ لَهُ فِي ذَلِكَ.

Dari Ali bin Abu Thalib : “Bahwasanya Al Abbas bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam perihal menyegerakan mengeluarkan zakat sebelum tiba waktunya, lalu beliau memberi keringanan kepadanya untuk melakukannya.” (H.R. Tirmidzi no. 678 & Ibnu Majah no. 1795)

5) Takhfif Takhir

Yaitu keringanan yang bersifat mengakhirkan dari waktu yang sudah ditetapkan, seperti:

a) Bolehnya menggabungkan pelaksanaan dua salat dalam satu waktu dengan cara mengundurkan salat yang sudah masuk waktu ke dalam waktu salat yang berikutnya (seperti penggabungan salat Zuhur dengan salat Asar pada waktu Asar, atau pelaksanaan salat Magrib dengan salat Isya pada waktu salat Isya) bagi musafir. Sebagaimana terdapat keterangan hadis sebagai berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: « كَانَ النَّبِيُّ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا وَإِذَا زَاغَتْ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ ».

Dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bila berangkat bepergian sebelum matahari condong, Beliau mengakhirkan pelaksanaan shalat Dhuhur hingga waktu shalat 'Ashar lalu menggabungkan (jama') keduanya. Dan bila berangkat setelah matahari condong, Beliau laksanakan shalat Dhuhur terlebih dahulu kemudian setelah itu berangkat.” (H.R. Bukhari no. 1111)

b) Mengakhirkan puasa Ramadhan bagi orang yang sedang sakit ataupun sedang dalam perjalanan, dan menggantinya di kemudian hari (qadla puasa), sebagaimana Allah berfirman:

﴿ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 185)

6) Takhfif Tarkhish

Yaitu keringanan yang bersifat memurahkan/mempermudah hukum pada beberapa hal yang awalnya sulit dilaksanakan, seperti:

a) Kebolehan mengonsumsi makanan dan minuman yang diharamkan dalam keadaan terpaksa/kondisi terdesak, yakni bila tidak mengonsumsinya bisa membawa kematian. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:

﴿ إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ

Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 173)

7) Takhfif Taghyir

Yaitu keringanan yang bersifat mengubah aturan ibadah, seperti:

a) Kebolehan mengubah runtutan salat pada waktu perang atau dalam kondisi jiwa/harta terancam. Sebagaimana terdapat keterangan hadis sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: « صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَاةَ الْخَوْفِ بِإِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ رَكْعَةً، وَالطَّائِفَةُ الْأُخْرَى مُوَاجِهَةُ الْعَدُوِّ. ثُمَّ انْصَرَفُوا وَقَامُوا فِي مَقَامِ أَصْحَابِهِمْ مُقْبِلِينَ عَلَى الْعَدُوِّ وَجَاءَ أُولَئِكَ. ثُمَّ صَلَّى بِهِمْ النَّبِيُّ رَكْعَةً. ثُمَّ سَلَّمَ النَّبِيُّ ثُمَّ قَضَى هَؤُلَاءِ رَكْعَةً وَهَؤُلَاءِ رَكْعَةً ».

Dari Ibnu Umar ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat Khauf bersama kami. Mula-mula satu kelompok pasukan mengikuti beliau shalat satu raka'at, sedangkan kelompok yang lain berjaga-jaga menghadap ke arah musuh. Setelah selesai satu raka'at, kelompok pertama pergi berjaga-jaga, menggantikan kelompok kedua, sedangkan kelompok kedua shalat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat, masing-masing rombongan menyempurnakan shalat mereka satu raka'at lagi.” (H.R. Muslim no. 839)

Perihal takhfif taghyir, syekh Ibn al-Jarhazi dalam kitabnya al-Mawahib as-Saniyah memberi komentar:

وَقَدْ يُقَالُ هُوَ دَاخِلٌ فِي النَّقْصِ لِأَنَّهُ نَقَصَ عَنْ نَظْمِهَا الْأَصْلِيِّ

“Dan terkadang dikatakan pula bahwa takhfif taghyir itu termasuk kategori takhfif tanqis, karena pada dasarnya takhfif taghyir ialah mengurangi dari kewajiban suatu ibadah.”

F. Macam-macam Kemudahan (Rukhsah)

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَرُخَصَ الشَّرْعِ عَلَى أَقْسَامِ ¤ قَدْ وَرَدَتْ بِحَسَبِ الْأَحْكَامِ

وَاجِبَةٍ كَالْأَكْلِ لِلْمُضْطَرِّ ¤ وَسُنَّةٍ كَالْقَصْرِ ثُمَّ الْفِطْرِ

بِشَرْطِهِ وَمَا يُبَاحُ كَالسَّلَمْ ¤ وَمَا يَكُوْنُ تَرْكُهُ هُوَ الْأَتَمّ

كَالْجَمْعِ أَوْ مَكْرُوْهَةٍ كَالْقَصْرِ فِيْ ¤ دُوْنَ ثَلَاثَةِ مَرَاحِلَ تَفِيْ

“Rukhsah-rukhsah syariat terbagi sesuai dengan hukum yang berlaku. Ada yang 1) wajib, seperti memakan bangkai bagi orang yang terdesak memakannya; ada yang 2) sunah, seperti qashr salat dan kebolehan tidak berpuasa dengan syarat-syaratnya; ada yang 3) mubah, seperti akad salam; ada yang 4) lebih baik ditinggalkan, seperti menjamak salat, dan ada yang 5) makruh, seperti qashr salat dalam bepergian yang jaraknya kurang dari dari tiga marhalah.”

Syekh Ibn al-Jarhazi memberikan definisi rukhsah dalam kitabnya al-Mawahib as-Saniyah sebagai berikut:

الرُّخْصَةُ لُغَةً السُّهُوْلَةُ، وَاصْطِلَاحًا تَغَيُّرُ الْحُكْمُ مِنْ صُعُوْبَةٍ إِلَى سُهُوْلَةٍ لِعُذْرٍ مَعَ قِيَامٍ لِلْحُكْمِ الْأَصْلِيِّ

“Rukhsah secara etimologi bermakna mudah. Sedangkan secara terminologi ialah perubahan hukum dari sulit menjadi mudah disebabkan adanya kesulitan melakukan hukum asal.”

Dipandang dari sudut hukmnya, rukhsah itu terbagi menjadi 5 macam, yaitu:

1) Wajib

     Seperti memakan bangkai/meneguk khamar bagi orang yang terdesak, yang mana jika tidak mengonsumsinya ada dugaan kuat ia akan mati (dalam mengonsumsinya pun jangan sampai melampaui batas/melebihi batas yang dibutuhkannya dan tidak pula menginginkannya).

Contoh lainnya yaitu membatalkan puasa bagi orang yang khawatir meninggal atau sakit parah bila berpuasa.

2) Sunah

Seperti qashr salat bila jarak perjalanan mencapai 3 marhalah, dan contoh lain yaitu berbuka bagi musafir yang mana syaratnya yaitu perjalanan tersebut jaraknya harus mencapai 3 marhalah.

3) Mubah

Seperti melakukan akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati meskipun barangnya belum ada, dengan pembayaran tunai pada saat akad berlangsung. Contohnya: Seseorang belanja Online melalui Marketplace (lazada/shopee dll), setelah ia menentukan kriteria dan gambar yang akan dibeli, kemudian ia pun melakukan kontrak jual beli dengan menyetujui ketentuan transaksi, lalu melakukan pembayaran (baik melalui transfer misalnya), dan pesanan diterima kemudian.

4) Khilaf al-Aula (Ditinggalkan lebih baik)

Seperti jamak salat. Hukum ini bisa menjadi afdhal bila terjadi pada orang yang membenci rukhsah jamak.

5) Makruh

Seperti qashr salat apabila jarak perjalanan tidak mencapai 3 marhalah.

*Dalam masalah qashr salat, Imam as-Suyuthi lebih cenderung memberi syarat bahwa jarak yang harus ditempuh ialah 3 marhalah.

*Sedangkan mayoritas ulama lebih cenderung memberi syarat bahwa jarak yang harus ditempuh ialah 2 marhalah, namun dalam jarak konkretnya mereka berbeda pendapat:

- Sebagian mengatakan: 2 marhalah berjarak 80,64 km. (Pendapat ini merupakan yang diambil oleh alm. H. Sulaiman Rasjid dalam bukunya yang berjudul Fiqh Islam)

- Sebagian ulama mengatakan: 2 marhalah berjarak 88,704 km.

- Ulama Hanafiyyah mengatakan: 2 marhalah berjarak 96 km.

- Mayoritas ulama mengatakan: 2 marhalah berjarak 119,9 km.

G. Kaidah-Kaidah Furu’iyyah

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

تَخْتِيْمٌ الْأَمْرُ إِذَا ضَاقَ اتَّسَعْ ¤ كَمَا يَقُوْلُ الشَّافِعِيُّ الْمُتَّبَعْ

وَرُبَّمَا تُعْكَسُ هَذِي الْقَاعِدَةْ ¤ لَدَيْهِمْ فَهِيَ أَيْضًا وَارِدَةْ

وَقَدْ يُقَالُ مَا طَغَى عَنْ حَدِّهِ ¤ فَإِنَّهُ مُنْعَكِسٌ لِضِدِّهِ

“Penutup. Suatu hal ketika sempit akan diperluas sebagaimana yang disampaikan oleh Imam saf-Syafi’i. Menurut ulama, terkadang kaidah ini terbalik (ketika suatu hal menjadi luas, maka akan dipersempit). Terkadang diungkapkan, perkara yang melewati batas akan berlaku hukum kebalikannya.”

Dari nadzom di atas, dapat diketahui bahwa terdapat tiga sub kaidah dari kaidah universal yang ketiga (المشقة تجلب التيسير), yaitu sebagai berikut:

1) Pertama

١) إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اتَّسَعَ

“Apabila suatu perkara menjadi sempit, maka hukumnya meluas.”

Maksud sempit dalam kaidah ini yaitu kesulitan menjauhi beberapa hal sehingga menuntut perluasan hukum/hukumnya diampuni (ma’fu).

Contoh-contoh dari sub kaidah tersebut antara lain:

a) Tatkala ada lalat hinggap di atas benda najis, kemudian terbang dan hinggap di tubuh maupun pakaian seseorang, maka najis yang ada di kaki lalat tersebut hukumnya diampuni (ma’fu).

b) Darah yang keluar dari luka kudis dan sejenisnya seperti bisul dll, tetapi dengan catatan najis yang keluar tersebut (baik berupa darah ataupun nanah) keluarnya secara tidak sengaja dan tidak terlalu banyak pula, maka hukumnya diampuni (ma’fu) karena sulitnya menghindari hal tersebut.

2) Kedua

٢) إِذَا اتَّسَعَ الْأَمْرُ ضَاقَ

“Apabila suatu perkara menjadi meluas, maka hukumnya menyempit.”

Maksudnya yaitu tatkala suatu permasalahan itu luas, maka menuntut dipersempit/dibatasi.

Contoh-contoh dari sub kaidah tersebut antara lain:

a) Kebolehan/keluasan melakukan gerakan-gerakan yang sedikit (kecil) dalam salat, maka dibatasi (dipersempit) dengan tidak boleh lebih dari dua gerakan berturut-turut.

b) Darah yang banyak, maka kenajisannya tidak diampuni (tidak dima’fu), karena hal tersebut mudah untuk dihindari.

3) Ketiga

٣) كُلُّ مَا تَجَاوَزَ عَنْ حَدِّهِ انْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ

“Segala sesuatu yang melewati batas kewajarannya, maka menjadi terbalik hukumnya.”

Sub kaidah yang ketiga ini merupakan pendapat Imam Al-Ghazali (w. 505 H) berdasarkan hasil sintesis dua kaidah sebelumnya. Sub kaidah ini memandang bahwa sempit dan luasnya suatu keadaan itu akan berakibat timbulnya hukum kebalikannya (saat kondisi sulit berarti hukumnya ringan & saat keadaan lapang akan membuat hukum menjadi ketat).

Contoh dari sub kaidah tersebut antara lain:

a) Gerakan sedikit dalam salat karena sulit dihindari, maka di ma’fu; dan gerakan banyak yang tidak dibutuhkan serta tidak sulit dihindari, maka tidak di ma’fu.


والله أعلم

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah yang ke-2: Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan

Kaidah yang ke-1: Segala Sesuatu Tergantung pada Tujuannya

Gambaran Besar Pembahasan Kitab Nadzom Al-Fara'id Al-Bahiyah