Kaidah yang ke-2: Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan

 


الْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
“Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan”

A. Dasar Hukum Kaidah

                Dasar pengambilan kaidah kedua ini adalah beberapa hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

١) « إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى؟ ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا؟ فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ. فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا، شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ، كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ »

Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan, dan ambilah yang pasti (yaitu yang sedikit). Kemudian sujudlah dua kali sebelum memberi salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Dan jika, ternyata shalatnya memang empat rakaat maka kedua sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (H.R. Muslim no. 571)

٢) « إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ، أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا، فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا »

Apabila salah seorang dari kalian mendapatkan sesuatu yang kurang beres dalam perutnya, lalu rancu baginya perkara tersebut, apakah keluar atau tidak, maka janganlah dia keluar dari masjid hingga dia mendengar suara (kentut) atau mendapatkan baunya.” (H.R. Muslim no. 362)

٣) « إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَوَجَدَ حَرَكَةً فِي دُبُرِهِ أَحْدَثَ أَوْ لَمْ يُحْدِثْ، فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ، فَلَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا »

Apabila salah seorang di antara kalian sedang shalat, lalu dia merasakan ada sesuatu gerakan pada duburnya, kemudian dia ragu, apakah dia berhadats atau tidak, maka janganlah dia meninggalkan (shalatnya) sehingga dia mendengar bunyi (kentutnya) atau mencium baunya.” (H.R. Abu Dawud no. 177)

B. Perbedaan Yaqin, Syak, Dzon, Wahm

1) Yakin (يقين)

            Ialah pengetahuan dan tidak ada keraguan di dalamnya, atau dengan kata lain yaitu ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan lagi.

2) Syak (شك)

            Ialah sesuatu yang membingungkan, atau dengan kata lain yaitu sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada sehingga menimbulkan kebimbangan.

3) Dzon (ظن)

            Ialah dugaan kuat, atau dengan kata lain yaitu seseorang yang berada di antara dua perkara yang mana ia dapat mentarjihkan/menguatkan salah satu di antara keduanya.

4) Wahm (وهم)

            Ialah dugaan lemah, atau dengan kata lain yaitu suatu keraguan pada diri seseorang terhadap suatu perkara dengan persangkaan yang lemah atau salah.

C. Pendapat Ulama Mengenai Kaidah di atas

Syekh Ibn Ahdal (w. 1035 H) dalam nadzomnya menuliskan:

فَتَدْخُلُ جَمِيْعُ الْأَبْوَابِ كَمَا قَدْ أَصَّلُوْا

“Seluruh bab fikih masuk dalam kaidah ini, sebagaimana ulama menjadikannya sebagai asal.”

Dalam hal ini, Imam as-Suyuthi (w. 911 H) berpendapat bahwasanya kaidah kedua ini bisa masuk ke seluruh bab fikih. Permasalahan yang tercakup olehnya mencapai ¾ atau bahkan lebih dari seluruh fikih.

Dan tentu saja, kaidah kedua ini memiliki sub-sub kaidah yang banyak sebagaimana statement dalam kitab nadzom al-Faraid al-Bahiyah berikut:

وَتَحْتَهَا قَوَاعِدٌ مُسْتَكْثَرَةْ ¤ اِنْدَرَجَتْ فَهَاكَهَا مُحَبَّرَةْ

“Di bawahnya tercakup banyak sekali kaidah. Maka ambillah kaidah ini wahai orang yang baik.”

D. Standar Hukum Keadaan yang Muncul Belakangan, Mengikuti Hukum Keadaan yang Sebelumnya

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

مِنْ ذَلِكَ الْأَصْلُ كَمَا اسْتَبَانَا ¤ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَا

“Di antaranya hukum asal baqa’ ma kana ‘ala ma kana (keadaan yang ada menetapi keadaan sebelumnya).”

      Dari nazdom di atas dapat diketahui bahwa salah satu sub kaidah yang pertama dari kaidah universal yang kedua, yaitu:

١) الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ

“Hukum asal segala sesuatu adalah tetap dalam keadaannya semula.”

Contohnya yaitu sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Fawaid al-Janiyah:

  1. Orang yang meyakini dirinya dalam keadaan suci (punya wudu), kemudian ia ragu apakah telah berhadas (misalnya kentut) atau tidak, maka dalam keadaan seperti ini tetap dihukumi suci. 
  2. Begitu pula sebaliknya, yaitu orang yang meyakini dirinya telah berhadas, lalu ia ragu apakah sudah wudu atau belum, maka dalam keadaan seperti ini tetap dihukumi berhadas.
  3. Di tengah salat jumat seseorang ragu, apakah waktunya sudah keluar atau belum, maka dalam keadaan seperti ini ia harus tetap meneruskan salatnya, dan keraguannya tidak memengaruhi keabsahan salatnya.
  4. Seseorang sedang makan sahur, lantas ia ragu apakah waktu fajar sudah tiba ataukah belum. Maka dalam keadaan seperti ini keraguannya tersebut tidak memengaruhi keabsahan sahurnya, sebab hukum asalnya masih malam.

         Perlu diketahui bahwa terdapat beberapa permasalahan yang dikecualikan dari sub kaidah ini, contohnya seperti:

  1. Orang yang hendak salat jumat ragu, apakah waktunya masih cukup untuk melaksanakan khotbah sekaligus salat 2 rakaat ataukah tidak cukup. Maka dalam keadaan seperti ini, ia tidak boleh salat jumat dan harus melaksanakan salat zuhur saja.
  2. Seseorang mempunyai harta yang sudah mencapai ukuran wajib zakat, kemudian ia menakar dan menyimpannya dalam suatu kantong. Seiring berjalannya waktu lantas ia ragu, apakah ukurannya berkurang atau tidak. Maka dalam keadaan seperti ini, keraguannya tersebut dapat memengaruhinya, sehingga ia wajib menyempurnakan ukurannya, karena ada kemungkinan salah menakar.

E. Pada Asalnya Seseorang itu Terbebas dari Tanggungan

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَالْأَصْلُ فِيْمَا أَصَّلَ الْأَئِمَّةْ ¤ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ يَا ذَا الْهِمَّةْ

“Hukum asal yang dijadikan kaidah oleh para Imam ialah bara’ah adz-dzimmah (bebas dari tanggungan), wahai orang yang mempunyai semangat yang menggelora.”

Dari nazdom di atas dapat diketahui bahwa salah satu sub kaidah yang kedua dari kaidah universal yang kedua, yaitu:

٢) الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ

“Hukum asal bahwa seseorang tidak mempunyai tanggungan (terhadap orang lain).”

Contoh:

  1. Haikal mendakwa Candra bahwa ia punya hutang kepadanya, sedangkan Candra menolak tuduhan Haikal. Maka dalam kasus ini Candra yang harus dibenarkan oleh hakim dengan sumpahnya. Sebab hukum asalnya ialah Candra tidak mempunyai tanggungan hutang. *Lain halnya jika Candra mengaku punya hutang kepada Haikal, dan menyatakan telah melunasinya, sebab dalam kasus ini sudah ada ketetapan bahwa Candra memiliki tanggungan kepada Budi (bahwa kalau punya hutang, tentu harus dibayar).
  2. Zaid mengakui punya hutang 1 juta pada Adit, sedangkan Adit menyatakan bahwa hutang Zaid sejumlah 2 juta. Maka dalam kasus ini yang harus dimenangkan adalah Zaid, sebab pada prinsipnya Zaid terbebas dari tanggungan melebihi dari yang diakuinya sejumlah 1 juta.

F. Seseorang yang Ragu Apakah telah Melakukan Sesuatu ataukah Belum

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَحَيْثُ شَكَّ امْرُؤٌ هَلْ فَعَلَا ¤ أَوْ لَا فَالْأَصْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلَا

“Sekiranya ragu telah melakukan pekerjaan atau belum, maka hukum asalnya ialah pekerjaan itu belum dilakukan.”

Dari nazdom di atas dapat diketahui bahwa salah satu sub kaidah yang ketiga dari kaidah universal yang kedua, yaitu:

٣) مَنْ شَكَّ هَلَ فَعَلَ شَيْئًا أَمْ لَا؟ فَالْأَصْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ

“Orang yang ragu, apakah sudah melakukan sesuatu ataukah belum, maka hukum asalnya adalah sungguh ia belum melakukannya.”

Atau dengan kata lain:

الْأَصْلُ فِي الشَّكِّ عَدَمُ الْفِعْلِ

“Hukum asal adalah tiadanya pekerjaan tatkala ragu.”

Contohnya yaitu sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Fawaid al-Janiyah:

  1. Seorang suami ragu apakah telah menalak istrinya ataukah tidak, maka dihukumi tidak menalak.
  2. Seseorang ragu apakah telah meninggalkan qunut ataukah sudah melakukannya, maka dianjurkan sujud sahwi.
  3. Seseorang ragu apakah sudah melakukan sujud sahwi ataukah belum (karena meninggalkan sunah ab’adh), maka ia dianjurkan agar sujud sahwi. Karena hukum asalnya ia belum melakukan sujud sahwi.

G. Seseorang yang telah Melakukan Sesuatu dan Ragu tentang Sedikit Banyaknya

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

أَوْ فِي الْقَلِيْلِ وَالْكَثِيْرِ حُمِلَا ¤ عَلَى الْقَلِيْلِ حَسْبَمَا تَأَصَّلَا

“Atau (ia) ragu melakukan yang sedikit atau banyak, maka ia dihukumi melakukan yang sedikit sebagaimana hukum asal berlaku.”

Dari nazdom di atas dapat diketahui bahwa salah satu sub kaidah yang keempat dari kaidah universal yang kedua, yaitu:

٤) مَنْ تَيَقَّنَ الْفِعْلَ وَشَكَّ فِي الْقَلِيْلِ وَالْكَثِيْرِ، حُمِلَ عَلَى الْقَلِيْلِ

“Orang yang yakin telah melakukan suatu perbuatan, dan ragu tentang sedikit banyaknya, maka dihukumi baru melakukan yang sedikit.”

Contoh:

  1. Seorang suami pernah menalak salah satu istrinya, lantas karena istrinya lebih dari satu, ia pun lupa apakah menjatuhkan talaknya baru sekali ataukah justru lebih, maka dalam kasus ini ia dihukumi baru melakukannya satu kali. Sebab itu merupakan jumlah pekerjaan yang terkecil. 
  2. Ada seseorang sedang salat, lantas ia ragu apakah telah mengerjakan tiga rakaat ataukah empat rakaat, maka dalam kondisi seperti ini dihukumi baru melakukan tiga rakaat. Sebab tiga rakaat ialah jumlah pekerjaan terkecil.

H. Pada Dasarnya Hak atas Sesuatu itu Tidak Ada

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

كَذَاكَ مِمَّا قَعَّدُوا الْأَصْلُ الْعَدَمْ ¤ فَاعْرِفْ فُرُوْعَ مَا يَجِيْ وَمَا قَدَمْ

“Sebagaimana bagian dari kaidah sebelumnya, hukum asal ialah tidak adanya sesuatu, ketahuilah beberapa cabang yang akan dijelaskan dan yang sudah.”

Dari nazdom di atas dapat diketahui bahwa salah satu sub kaidah yang kelima dari kaidah universal yang kedua, yaitu:

٥) الْأَصْلُ الْعَدَمُ

“Hukum asal (sesuatu) ialah (dianggap) tidak ada.”

Contoh:

Tatkala terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli mengenai kecacatan suatu barang yang dijual belikan. Pembeli menyatakan bahwa barang tersebut cacatnya sudah ada sejak dari tangan penjual, sementara itu penjual pun menolak pernyataan pembeli. Maka dalam kasus ini yang dibenarkan adalah pernyataan penjual. Adapun terkait alasannya ada perbedaan pandangan di antara ulama:

  1. Sebagian ulama menyatakan: Karena hukum asalnya tidak ada cacat dari tangan penjual.
  2. Sedangkan pendapat yang ditegaskan oleh Imam na-Nawawi (w. 676 H) dan Imam ar-Rafi’i (w. 623 H) dalam kitab Raudah ath-Thalibin yaitu: Karena hukum asalnya adalah akadnya telah sah, sehingga bila barang itu dihukumi cacat dari tangan penjual maka tentu hal itu menyebabkan ketidakabsahan akadnya. Oleh karena itu, itu untuk menjaga hukum asal, maka ucapan yang dibenarkan adalah ucapan penjual.

        Dalam kitab al-Fawaid al-Janiyah karya Syekh Yasin al-Fadani (w. 1410 H) terdapat penjelasan bahwa kaidah ini (الْأَصْلُ الْعَدَمُ) tidak berlaku secara mutlak, namun hanya berlaku pada sifat yang baru, bukan pada sifat yang aslinya telah wujud.

            Untuk sifat yang aslinya telah wujud, maka diberlakukan kaidah:

الْأَصْلُ الْوُجُوْدُ

“Hukum asalnya adalah ada .”

Contoh:

     Ada seseorang yang membeli budak dengan kriteria perawan. Lantas ia mengatakan: “Budak itu sudah tidak perawan.” Sedangkan penjual mengatakan: “Itu masih perawan.” Maka dalam kasus ini yang dimenangkan ialah pernyataan penjual, sebab hukum asalnya (budak tersebut) adalah perawan. Sebab sifat perawan merupakan sifat yang asli atau dengan kata lain sifat yang melekat sebelum ada yang merusaknya.

I. Mengira-ngirakan Suatu Perkara yang Terjadi dengan Waktu yang Paling Dekat

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَالْأَصْلُ فِي الْحَادِثِ أَنْ يُقَدَّرَا ¤ بِأَقْرَبِ الزَّمَانِ فِيْمَا قُرِّرَا

“Hukum asal perkara yang baru datang ialah dikira-kirakan dengan waktu terdekat, sebagaimana yang ditetapkan.”

Dari nazdom di atas dapat diketahui bahwa salah satu sub kaidah yang keenam dari kaidah universal yang kedua, yaitu:

٦) الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثٍ تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنٍ

“Hukum asal setiap perkara yang baru datang ialah mengira-ngirakannya terjadi pada waktu yang paling dekat.”

Contoh:

Seseorang melihat sperma di pakaiannya hari Ahad pukul 10.00 WIB, dan tidur terakhirnya adalah hari Sabtu pukul 14.00 WIB, padahal tidak ingat bermimpi basah. Maka dalam kondisi seperti ini, ia wajib mandi besar serta mengulangi salat yang dilakukan setelah jam 14.00 WIB (dari mulai salat asar dst. yang ada di hari Sabtu s/d salat subuh yang ada di hari Ahad). Sebab, tidur terakhirnya itu merupakan waktu yang paling dekat memungkinkan ia mengeluarkan sperma, sehingga salat-salat yang telah ia lakukan (selama dalam keadaan junub) tidak sah sehingga harus di ulang.

J. Hukum Asal Segala Sesuatu itu Mubah

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَالْأَصْلُ فِي الْأَشْيَا الْإِبَاحَةُ إِلَّا ¤ إِنْ دَلَّ لِلْحَظْرِ دَلِيْلٌ قُبِلَا

“Asal segala sesuatu hukumnya ialah mubah, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya, maka dihukumi haram.”

Dari nazdom di atas dapat diketahui bahwa salah satu sub kaidah yang ketujuh dari kaidah universal yang kedua, yaitu:

٧) الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ

“Hukum asal segala sesuatu itu  mubah sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”

a) Pendapat Imam asy-Syafi’i (w. 204 H)  

Menurut Imam asy-Syafi’i, hukum asal segala sesuatu yang bermanfaat adalah halal selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan hukum asal sesuatu yang membahayakan adalah haram.

            Beliau berpijak pada dalil-dalil berikut:

1) Al-Qur’an

﴿ قُل لَّآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٖ يَطۡعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا أَوۡ لَحۡمَ خِنزِيرٖ فَإِنَّهُۥ رِجۡسٌ أَوۡ فِسۡقًا أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ 

Katakanlah: “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya, kecuali daging hewan mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena semua kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. Al-An’am [6]: 145)

Syekh Yasin al-Fadani dalam kitabnya al-Fawaid al-Janiyah menjelaskan: Ayat ini menunjukkan bahwasanya yang haram ialah perkara yang sudah ada ketetapannya dari Allah Swt. sehingga perkara yang tidak ada ketetapan haramnya dari Allah Swt. maka dihukumi halal.

2) Hadis

« إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَرَّمَ حُرُمَاتٍ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَحَّدَ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا »

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian sia-siakan. Allah telah menetapkan beberapa larangan, maka janganlah kalian melanggarnya. Allah telah menetapkan batasan-batasan maka janganlah kalian melewatinya. Dan Allah tidak menyinggung banyak hal bukan karena lupa, maka janganlah kalian mencari-carinya.” (H.R. Daruquthni)

b) Pendapat Imam Abu Hanifah (w. 150 H)

            Sementara menurut Imam Abu Hanifah:

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ التَّحْرِيْمُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى الْإِبَاحَةِ

“Hukum asal segala sesuatu itu  haram sampai ada dalil yang menunjukkan kebolehannya.”

      Jadi beliau berpendapat bahwa asal suatu perkara adalah haram, kecuali ada dalil tegas yang menghalalkannya.

c) Berikut Contoh Perbandingan Pendapat Keduanya dalam Beberapa Kasus:

  1. Hewan yang hukumnya tidak diketahui secara jelas namanya dalam syariat, maka Imam asy-Syafi’i cenderung menghukuminya halal. Sedangkan Imam Abu Hanifah cenderung menghukuminya haram.
  2. Tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang hukumnya tidak diketahui secara jelas jenis maupun namanya dalam syariat, maka Imam asy-Syafi’i cenderung menghukuminya halal. Sedangkan Imam Abu Hanifah cenderung menghukuminya haram.
  3. Semua jenis makanan, minuman, pakaian maupun tindakan yang hukumnya tidak diketahui secara jelas dalam syariat, maka Imam asy-Syafi’i cenderung menghukuminya halal. Sedangkan Imam Abu Hanifah cenderung menghukuminya haram.

K. Hukum Asal Farji (Kemaluan) itu Haram

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

كَذَا يُقَالُ الْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ ¤ الْحَظْرُ مُطْلَقًا بِلَا دِفَاعِ

“Sebagaimana kaidah sebelumnya, diungkapkan hukum asal pada farji (kemaluan) adalah haram secara mutlak tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama.”

Dari nazdom di atas dapat diketahui bahwa salah satu sub kaidah yang kedelapan dari kaidah universal yang kedua, yaitu:

٨) الْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيْمُ

“Hukum asal pada farji (kemaluan) adalah haram.”

        Maksud kaidah ini yaitu bahwasanya hukum asal pada sesuatu yang berhubungan dengan hubungan seksual antara lelaki dan perempuan adalah haram, hingga adanya sesuatu yang melatarbelakangi hal tersebut menjadi halal yakni dengan akad nikah.

       Oleh karena itu, tatkala terjadi perselisihan hukum di antara halal dengan haram terhadap seorang wanita, maka hukum haram itulah yang diunggulkan dan dimenangkan. Dengan kata lain, yang dijadikan patokan hukum pada diri seorang wanita ialah haram, karena hukum asal dari seksual (farji) adalah haram.

Contoh:

1) Jika dikabarkan kepada seorang lelaki bahwa di suatu desa yang jumlah penduduknya terbatas (mudah dihitung walaupun dengan melihat selintas saja, seperti 20 orang/kurang) terdapat perempuan mahram, maka dalam hal ini ia tidak diperbolehkan berijtihad untuk memastikan mana perempuan mahram itu sehingga ia tidak dapat menikahi perempuan lain yang ada di desa itu.

*Akan tetapi jika suatu desa yang jumlah penduduknya tidak terbatas (sulit dihitung dengan melihat sepintas, seperti 1000/lebih) maka lelaki tersebut boleh menikahi gadis/wanita yang ada di desa tersebut walaupun terdapat perempuan mahram, karena hal ini merupakan kemurahan dari Allah Swt. agar pintu pernikahan tidak tertutup, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam al-Khithabi (w. 388 H).

2) Zaid (muwakkil) ingin membeli seorang budak perempuan, lantas ia mewakilkan kepada Amar (wakil) untuk membelikannya dengan kriteria tertentu. Lalu Amar pun membelinya sesuai dengan kriteria yang diinginkan Zaid. Tak lama kemudian, Amar meninggal sebelum menyerahkan budak perempuan tersebut kepada Zaid. Maka dalam kasus seperti ini, Zaid tidak halal berhubungan intim dengan budak tersebut, sebab masih ada kemungkinan Amar itu membelinya untuk diri sendiri atau bahkan orang lain, meski kriterianya budak tersebut sesuai dengan yang Zaid inginkan sehingga hal ini dapat mengantarkan pada dugaan kuat pembelian itu memang untuk zaid.

*Akan tetapi, perlu diketahui bahwa perkara yang hukum asalnya haram, untuk bisa menjadi halal maka harus ada keyakinan atas kehalalannya. Sementara dalam kasus ini yang ada hanyalah baru sebatas dugaan saja, meskipun berupa dugaan kuat.

L. Makna Asal Suatu Ucapan Adalah Hakikatnya

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَفِي الْكَلَامِ أَصِّلِ الْحَقِيْقَةْ ¤ رَزَقَكَ اللهُ عَلَا تَوْفِيْقَهْ

“Dan hukum asal suatu ucapan adalah hakikatnya. Semoga Allah memberi petunjuk.”

Dari nazdom di atas dapat diketahui bahwa salah satu sub kaidah yang kesembilan dari kaidah universal yang kedua, yaitu:

٩) الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيْقَةُ

“Hukum asal suatu ucapan adalah hakikatnya.”

        Dari nadzom di atas dapat diketahui bahwa makna suatu ucapan ialah hakikatnya, tidak boleh diarahkan pada makna majaznya kecuali terdapat indikator yang menetapkan ucapan itu harus diarahkan pada majaz karena ada ketidakmungkinan jika diarahkan pada makna hakikatnya.

     Yang dimaksud hakikat di sini ialah sebuah lafal/kata yang digunakan sesuai dengan makna aslinya yang muncul pertama kali tanpa ada penambahan maupun pengurangan. Sedangkan majaz merupakan kebalikannya, yaitu sebuah lafal/kata yang memiliki makna lain dan telah mengalami perubahan/pembiasan dari makna aslinya.

Berikut beberapa contoh penerapan dari kaidah ini:

  1. Seseorang bersumpah bahwasanya ia tidak akan menjual dan membeli apapun, seiring berjalannya waktu, lantas ia mewakilkan kepada orang lain untuk menjualkan/membelikannya suatu barang, maka dalam kasus ini ia dihukumi tidak melanggar sumpah. Sebab pada hakikatnya ia tidak melakukan penjualan/pembelian dengan dirinya sendiri secara langsung.
  2. Jika seorang Ayah mewakafkan harta pada anaknya (أَوْلَادَهُ), maka dalam hal ini cucunya tidak masuk dalam lafal tersebut. Sebab hakikat anak ialah anak kandung.
  3. Seseorang ingin memberikan wakaf kepada orang yang hafal al-Qur’an, maka dalam hal ini tentu orang yang pernah hafal namun lupa tidak termasuk dalam kategori tersebut. Sebab meski ia pernah hafal al-Qur’an, pada hakikatnya sekarang sudah tidak hafal lagi walaupun hanya sebagiannya.

M. Pertentangan Antara Hukum Asal dan Hukum Dzohir

(فَصْلٌ فِيْ تَعَارُضِ الْأَصْلِ وَالظَّاهِرِ)

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَالْأَصْلُ وَالظَّاهِرُ فِي الْحُكْمِ مَتَى ¤ تَعَارَضَا فَفِيْهِ تَفْصِيْلٌ أَتَى

Apabila terjadi pertentangan antara hukum asal dan hukum dzohir, maka pemetaannya terperinci sebagai berikut.”

            Imam az-Zarkasyi (w. 794 H) berkata: Yang dimaksud dengan hukum asal ialah:

الْقَاعِدَةُ الْمُسْتَمِرَّةُ أَوِ الْاِسْتِصْحَابُ

“Kaidah yang terus berlaku ataupun menetapi hukum awal”, seperti kaidah hukum asal adalah perkara yang lebih sedikit. Sedangkan hukum dzohir adalah perkara yang bisa dilihat wujudnya.

       Dari nadzhom di atas, dapat diketahui bahwa apabila terjadi pertentangan antara hukum asal dan hukum dzohir, maka terdapat perincian dalam pemetaannya, yang mana pembagian hukumnya ada empat:

1) Dimenangkan hukum asal tanpa perbedaan pendapat ulama.

Sebagaimana Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَالْأَصْلُ إِنْ مُجَرَّدُ احْتِمَالِ ¤ عَارَضَهُ رَجِّحْ بِجَزْمِ الْقَالِ

“Apabila hukum asal bertentangan dengan dzahir yang hanya berupa kemungkinan, maka unggulkanlah hukum asal tanpa perbedaan pendapat.

Yakni bila hukum asal bertentangan dengan hukum dzohir yang hanya berupa kemungkinan, misalnya seperti:

a) Orang yang salat ragu, apakah sudah 3 rakaat ataukah 4 rakaat, maka dalam kondisi seperti ini salatnya dihukumi baru 3 rakaat. Sebab sebagaimana kaidah menyatakan bahwa hukum asalnya ialah perkara yang sedikit, sementara 4 rakaat hanya suatu kemungkinan.

b) Orang yang dalam keadaan hadas, karena sudah kentut misalnya, seiring berjalannya waktu lantas ia ragu, apakah sudah wudu ataukah belum. Maka dalam kondisi seperti ini dihukumi masih masih dalam keadaan hadas. Sebab sebagaimana kaidah menyatakan bahwa hukum asalnya menetapkan keadaan yang belakangan pada hukum asal yang mendahuluinya. Dan hukum yang mendahuluinya ialah keyakinannya sendiri bahwa sudah kentut, sementara itu wudunya masih sebatas kemungkinan.

2) Dimenangkan hukum dzohir tanpa perbedaan pendapat ulama.

Sebagaimana Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَرَجِّحِ الظَّاهِرَ جَزْمًا إِنْ غَدَا ¤ لِسَبَبٍ نُصِبَ شَرْعًا مُسْنَدَا

أَوْ سَبَبٍ عُرِفَ عَادَةً أَوِ ¤ يَكُوْنُ مَعْهُ عَاضِدٌ بِهِ قَوِي

“Dan unggulkanlah hukum dzohir daripada hukum asal tanpa perbedaan pendapat, tatkala hukum dzohir berpijak pada sebab yang ditetapkan oleh syara’, atau pada sebab yang diketahui secara adat atau hukum dzohir didukung oleh penguat yang jelas.

Yakni bila:

a) Hukum dzohir berpijak pada sebab yang ditetapkan oleh syara’, misalnya seperti:

Ada orang yang tsiqah (yang dapat dipercaya) memberitahukan bahwa air yang ada di wadah itu terkena najis. Maka hukum asalnya ialah tidak ada najis pada air itu, namun dikarenakan ada hukum dzohir yang berpijak pada sebab yang ditetapkan oleh syara’ (berupa kabar orang tsiqah atas kenajisan air tersebut), maka dalam kasus ini, air itu dihukumi najis.

b) Hukum dzohir berpijak pada adat (kebiasaan) yang berlaku, misalnya seperti:

Air yang mengalir dari kamar mandi/WC. Hukum asal air ialah suci, namun hukum dzohirnya air yang mengalir dari kamar mandi/WC tersebut biasanya suka tercampuri najis seperti kencing dll, maka air itu dihukumi najis.

c) Hukum dzohir didukung oleh pendukung yang jelas, misalnya seperti:

Ada biri-biri/kambing yang mengencingi air, lalu kondisi airnya pun baik itu warna, zat, maupun rasanya menjadi berubah, maka dalam hal ini air tersebut dihukumi najis. Sebab, adanya kencing yang setelahnya diikuti perubahan kondisi air merupakan tanda yang jelas bahwa perubahan air itu disebabkan oleh adanya kencing kambing.

3) Diunggulkan hukum asal daripada hukum dzohir menurut pendapat ashah.

Sebagaimana Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَالْأَصْلُ رَجِّحْهُ عَلَى الْأَصَحِّ إِنْ ¤ سَبَبُ الْاِحْتِمَالِ ضُعْفُهُ زُكِنْ

“Dan unggulkanlah hukum asal apabila bertentangan dengan hukum dzohir yang penyebabnya lemah.

Yakni bila hukum dzohirnya berpijak pada suatu kemungkinan yang lemah, misalnya seperti:

a) Barang yang tidak diyakini najis, akan tetapi pada umumnya terkena najis, seperti pakaian penjual khamar dan jagal. Maka keduanya dihukumi suci menurut pendapat ashah karena mengunggulkan hukum asal, yaitu suci pakaiannya, sebab kemungkinan najisnya lemah.

4) Diunggulkan hukum dzohir daripada hukum asal menurut pendapat ashah.

Sebagaimana Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَرَجِّحِ الظَّاهِرَ فِي الْأَصَحِّ ¤ مَا كَانَ قَوِيًّا بِانْضِبَاطِ وُسِمَا

“Dan unggulkanlah hukum dzohir menurut pendapat ashah tatkala hukum dzohir diketahui memiliki kekuatan yang jelas.

Yakni bila hukum dzohirnya merupakan sebab yang kuat dan mundhabith (terbatasi). 

Contoh:

a) Kasus yang terbatasi dengan selesainya salat secara sah, misalnya seperti:

Setelah salat, tiba-tiba seseorang ragu meninggalkan rukun salat (selain niat dan takbiratul ihram), maka dalam kasus ini salatnya sah menurut pendapat masyhur. Sebab hukum dzohirnya salat telah selesai dengan sempurna. Selain itu, seandainya keraguan setelah selesai salat dipertimbangkan, tentu saja akan menyulitkan, karena sering terjadi.

(Akan tetapi jika keraguan meninggalkan rukunnya itu pada niat dan takbiratul ihram, maka hal ini tentu memengaruhi keabsahannya, karena keraguan itu mewajibkan pengulangan salat. Karena keduanya merupakan fondasi pokok dalam salat)

b) Kasus yang terbatasi dengan keabsahan akad antara orang Islam yang berdasarkan syariat, selama tidak terdapat dugaan adanya perkara yang membatalkan, misalnya seperti:

Dalam masalah jual beli, yakni bila antara penjual dan pembeli bertentangan mengenai sah dan batalnya akad, maka pendapat ashah memenangkan pihak yang mengakui keabsahan akad tersebut. Sebab hukum dzohirnya yaitu akad telah berlangsung di antara kedua muslim tersebut sesuai dengan aturan syara’.

(Akan tetapi menurut pendapat lain menyatakan bahwa akadnya tidak sah, sebab hukum asalnya ialah akad tidak sah).

N. Pertentangan Antara Dua Hukum Asal

(فَصْلٌ فِيْ تَعَارُضِ الْأَصْلَيْنِ)

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَحَيْثُمَا تَعَارَضَ الْأَصْلَانِ ¤ فَرَجِّحِ الْأَقْوَى عَلَى بَيَانِ

“Sekiranya ada pertentangan di antara dua hukum asal, maka unggulkanlah yang lebih kuat sesuai penjelasan ulama.”

            Dalam kitab al-Mawahib as-Saniyah, terdapat kutipan dari Imam al-Haramain (w. 478 H), beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud pertentangan dalam permasalahan ini bukanlah membandingkan dua asal dengan satu standar dalam mengunggulkannya tanpa melihat aspek-aspek lain. Sebab perbandingan seperti ini justru hanya akan menimbulkan pertentangan yang tidak berujung.

Namun yang dimaksud di sini ialah tatkala dalam suatu permasalahan terdapat dua asal yang bertentangan pada awalnya, namun ketika dianalisa secara lebih mendalam, ternyata ditemukan keunggulan salah satu di antara keduanya.

Kemudian Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَقُوَّةُ الْأَصْلِ بِعَاضِدٍ حَصَلْ ¤ مِنْ ظَاهِرٍ أَوْ غَيْرِهِ كَمَا وَصَلْ

“Kuatnya hukum asal bisa didapatkan dengan hukum dzohir atau lainnya, sebagaimana penjelasan ulama.”

      Dari nadzom di tersebut dapat diketahui bahwa hukum asal yang bersamaan dengan hukum dzohir akan lebih kuat dibandingkan dengan hukum asal saja tanpa adanya dukungan lain. Contoh:

1) Kuatnya hukum asal dengan dukungan hukum dzohir, misalnya seperti:

Ada seorang suami impoten yang penisnya ada (سليم الذكر), mengaku telah menjimak istrinya pada masa penantian (masa di mana suami tidak mampu memberi nafkah batin serta istri menuntut kepada hakim untuk memberikan vonis apakah suaminya benar-benar tidak mampu. Masa penantian ini satu tahun). Dalam kasus ini terdapat dua asal, yaitu:

Pertama, tetapnya nikah;

Kedua, tidak menjimak istri;

Maka dalam kasus ini, yang dimenangkan ialah pengakuan suami. Sebab hukum asal yang dijadikan pijakan ialah tetapnya nikah yang didukung dengan hukum dzohir berupa wujudnya penis suami.

2) Kuatnya hukum asal dengan dukungan selain hukum dzohir yang layak menjadi pendukung, misalnya seperti:

Dalam sebuah bak, terdapat air yang terkena najis dan diragukan apakah air dalam bak tersebut ada dua qullah ataukah tidak. Maka dalam kasus ini terdapat dua hukum asal, yaitu:

Pertama, tidak adanya najis;

Kedua, air dalam bak tidak mencapai dua qullah;

Terkait dengan apakah air itu dihukumi najis ataukah suci, maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara ulama:

  • Imam al-Mawardi (w. 450 H) berpendapat bahwa air tersebut najis, sebab najisnya sudah jelas, sementara hukum asalnya air belum mencapai (kurang dari) dua qullah.
  • Imam an-Nawawi (w. 676 H) berpendapat bahwa air tersebut suci, sebab kita hanya ragu tentang kenajisan air tersebut saja sedangkan hukum asalnya tidak ada najis. Argumennya yaitu:

وَلَا يَلْزَمُ مِنَ النَّجَاسَةِ التَّنَجُّسُ

“Terkena najis belum pasti membuat air menjadi najis.”

 Dan pendapat imam an-Nawawi inilah yang dimaksud dengan contoh bagian 2, yaitu dukungan selain hukum dzohir yang layak menjadi pendukung, yang menguatkan hukum asal berupa: “tidak ada najis” diunggulkan daripada hukum asal berupa: air tidak mencapai dua qullah.

     Selain pembahasan di atas (تَعَارُضُ الْأَصْلَيْنِ), sebenarnya terdapat beberapa permasalahan yang belum disinggung oleh Syekh Ibn Ahdal (pembuat nadzom) dalam kitabnya al-Fara’id al-Bahiyah. Kemudian Syekh Ibn al-Jarhazi (pembuat syarh nadzom)pun menuliskan beberapa permasalahan tambahan dalam kitabnya al-Mawahib as-Saniyah, di antaranya ialah:

١) تَعَارُضُ الْأَصْلَيْنِ وَيُعْمَلُ بِهِمَا مَعًا

“Pertentangan antara dua asal dan diberlakukan keduanya.”

Misalnya seperti:

     Kucing yang telah memakan benda najis (bangkai misalnya), kemudian pergi menghilang yang selama waktu itu memungkinkannya mendatangi air yang mencapai dua qullah, sehingga berpeluang mulutnya menjadi suci. Seiring berjalannya waktu, lantas kucing itu pun menjilati air yang kurang dari dua qullah. Maka dalam kasus ini terdapat dua asal, yaitu:

Pertama, mulut kucing tetap najis;

Kedua, airnya tetap suci.

     Maka dalam hal ini, kedua hukum asal tersebut diterapkan, yakni mulut kucing tetap dihukumi najis dan airnya tetap dihukumi suci.

٢) تَعَارُضُ الوَاجِبَيْنِ

“Pertentangan antara dua kewajiban.”

Misalnya seperti:

     Terdapat pasangan suami istri yang hanya memiliki beras yang cukup digunakan untuk membayar zakat fitrah hanya untuk satu orang saja. Dalam kasus ini menimbulkan pertanyaan, yakni apakah beras tersebut digunakan untuk membayar fitrah dirinya sendiri ataukah untuk istrinya, yang mana zakat fitrah itu wajib atas keduanya.

      Maka dalam hal ini, terdapat pendapat ashah yang menyatakan bahwa beras itu wajib digunakan untuk membayar zakat bagi dirinya sendiri. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

« ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ. فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ »

Mulailah dengan dirimu sendiri, bersedekahlah untuknya. Jika ada suatu kelebihan dari dirimu, maka itu untuk keluargamu. Jika masih ada suatu kelebihan, maka untuk kerabatmu.”(H.R. Muslim no. 997)

٣) تَعَارُضُ المَنْدُوْبَيْنِ

“Pertentangan antara dua sunah.”

Misalnya seperti:

       Niat salat ada’  dan niat salat qadha’  bagi orang yang memiliki tanggungan salat qadha’ tatkala waktunya sempit, maka disunahkan mendahulukan salat qadha’ sekiranya ia tidak khawatir kehabisan waktu salat ada’. Dan wajib mendahulukan salat ada’ sekiranya ia khawatir kehabisan waktunya, agar salat ada’ tidak menjadi qadha’.

٤) تَعَارُضُ الفَضِيْلَتَيْنِ

“Pertentangan antara dua keutamaan.”

Misalnya seperti:

      Seseorang memiliki waktu yang sempit, lantas ia dilema perihal keutamaan berangkat lebih awal ke masjid untuk melaksanakan itikaf  menunggu mulainya salat jumat dan keutamaan mandi sunah jumat, yang mana mengerjakan salah satunya akan membuat yang lain terabaikan. Adapun perihal keutamaan dua amalan tersebut, terdapat dalam hadis:

● Hadis keutamaan berangkat lebih awal ke masjid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

« إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ مَلَائِكَةٌ يَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ. فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوْا الصُّحُفَ وَجَاءُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ، وَمَثَلُ الْمُهَجِّرِ كَمَثَلِ الَّذِي يُهْدِي الْبَدَنَةَ، ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي بَقَرَةً، ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي الْكَبْشَ، ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي الدَّجَاجَةَ، ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي الْبَيْضَةَ »

Apabila hari Jum'at telah tiba, para Malaikat berdiri di setiap pintu Masjid, mencatat orang yang pertama-tama datang dan seterusnya. Apabila Imam telah datang (naik mimbar), maka mereka pun menutup shuhuf (buku catatan) dan bersegera untuk mendengarkan khutbah. Perumpamaan orang yang pertama-tama datang adalah seperti berkorban dengan seekor unta. Kemudian orang yang datang sesudah itu, seperti orang yang berkurban dengan seekor lembu. Kemudian seperti orang yang berkurban kibas. Kemudian seperti orang yang berkurban dengan seekor ayam. Dan kemudian seperti orang yang berkurban dengan sebutir telur.” (H.R. Muslim no. 850) 

● Hadis keutamaan mandi sunah jumat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

« مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ، وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ »

Barang siapa yang berwudlu' pada hari Jum'at maka hal itu sudah mencukupinya dan baik, akan tetapi barang siapa yang mandi, maka mandi itu lebih utama.” (H.R. Tirmidzi no. 497 & Nasai no. 1380)

« إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ، فَلْيَغْتَسِلْ »

Jika salah seorang dari kalian hendak menunaikan shalat Jum'at, hendaklah ia mandi terlebih dahulu.” (H.R. Muslim no. 844)

Maka dalam kondisi seperti ini, yang lebih diutamakan ialah mandi sunah jumat. Sebab, mandi sunah jumat hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, sementara menurut Imam Syafi’i hukumnya sunah. Oleh sebab itu maka lebih didahulukan mandi sebagaimana kaidah mazhab Syafi’i menyatakan bahwa:

الْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ

“Keluar dari perselisihan hukumnya sunah.”

٥) تَعَارُضُ الْخِلَافَيْنِ

“Pertentangan antara dua hal yang masih diperselisihkan.”

Misalnya seperti:

      Menyambung (الوصل) dan memisah (الفصل) rakaat dalam salat witir. Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama: 

  • Imam Abu Hanifah: Mewajibkan washl.
  • Imam Ahmad: Tidak Membolehkan washl.
  • Ulama mazhab Syafi’i: Memperbolehkan keduanya, namun yang lebih utama ialah fashl meskipun hanya dengan satu rakaat.

٦) تَعَارُضُ الْمَفْسَدَتَيْنِ

“Pertentangan antara dua kerusakan.”

Misalnya seperti:

       Ada seseorang yang jatuh dari tempat tinggi tepat di atas Zaid. Bila orang yang jatuh tidak ditangkis akan melukai Zaid, dan bila ditangkis akan melukai orang itu. Maka dalam kondisi seperti ini, Zaid wajib menangkisnya untuk menyelamatkan diri, walaupun wajib mengganti rugi atas luka orang itu.

O. Pertentangan Antara Dua Hukum Dzohir

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

تَتِمَّةٌ وَالظَّاهِرَانِ رُبَّمَا ¤ تَعَارَضَا وَهُوَ قَلِيْلٌ فَاعْلَمَا

“Pelengkap. Kadang terjadi pula pertentangan dua hukum dzohir dan hal ini jarang sekali terjadi.”

 Contoh:

        Ada seorang lelaki yang mengaku memiliki ikatan pernikahan dengan seorang wanita, dan ternyata wanita itu pun membenarkannya. Maka dalam kasus ini terdapat perbedaan di antara qaul qadim dan qaul jadid.

  • Qaul qadim: Tidak membenarkan pernyataan keduanya jika mereka berada diperkotaan atau tempat yang ramai, sebab hukum dzohir memandang bahwa semestinya pernikahan mereka itu diketahui oleh banyak orang. Oleh karena itulah maka dibutuhkan saksi untuk membenarkannya.
  • Qaul jadid: Membenarkan pernyataan wanita itu, sebab hukum dzohir memandang lelaki dan wanita itu benar dan sungguh-sungguh dalam menyatakannya.

P. Terkadang Keyakinan Hilang Karena Adanya Keraguan

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

فَوَائِدُ وَرُبَّمَا الْيَقِيْنُ ¤ زَوَالُهُ بِالشَّكِّ يَسْتَبِيْنُ

وَذَاكَ فِيْ مَسَائِلٍ مُنْحَصِرَةْ ¤ تُحْكَى عَنِ ابْنِ الْقَاصِ فِيْمَا ذَكَرَهْ

“Beberapa faidah. Terkadang keyakinan itu bisa hilang dengan adanya keraguan. Hal itu terjadi pada beberapa permasalahan yang jumlahnya terbatas, yang dihikayatkan dari Ibn al-Qash menurut keterangan (Jalaluddin as-Suyuthi).”

      Dari nadzhom di atas dapat diketahui bahwa terkadang keyakinan itu bisa hilang dengan adanya keraguan, sebagaimana dalam kitab Talkhis, Ibn al-Qash (w. 335 H) menyatakan bahwa hal itu terjadi dalam 11 permasalahan, yaitu:

  1. Keraguan orang yang mengusap muzah, apakah waktunya masih ada ataukah sudah habis, maka dalam kondisi seperti ini dihukumi sudah habis waktunya.
  2. Ragu mengusap muzah di rumah ataukah di perjalanan.
  3. Apabila seorang musafir (pengembara) melakukan takbiratul ihram dengan niat qashr salat dan bermakmum kepada orang yang tidak diketahui apakah imamnya musafir ataukah orang daerah situ, maka dalam hal ini ia tidak diperbolehkan qashr salat.
  4. Hewan kencing pada air yang lebih dari dua qullah, lalu warna maupun baunya berubah, atau misalnya tidak ada yang mengetahui seorang pun perihal apakah perubahan itu disebabkan oleh kencing hewan ataukah perkara lain. Maka dalam kasus ini air itu dihukumi najis, walaupun hukum asal menyatakan bahwa asal dari suatu benda ialah suci.
  5. Wanita yang tidak bisa memastikan darah yang keluar apakah darah haid ataukah bukan, maka wajib mandi setiap akan melaksanakan salat, karena keraguan atas terputusnya darah haid sebelum salat.
  6. Orang yang terkena najis baik itu pada pakaiannya ataupun badannya yang mana tidak diketahui secara pasti bagian mana yang terkena najis tersebut, maka dalam hal ini ia wajib menyucikan seluruh pakaiannya ataupun badannya tersebut.
  7. Seorang musafir ragu, apakah ia telah sampai di batas daerah tempat tinggalnya atau belum, maka dalam hal ini ia tidak mendapatkan rukhsah orang yang bepergian, karena ia dihukumi sudah sampai daerah tempat tinggalnya, meskipun hukum asal menyatakan ia belum sampai.
  8. Tatkala tiba di suatu daerah, seorang musafir ragu, apakah ia telah niat bermukim di tempat itu ataukah belum, maka dalam hal ini ia tidak boleh melakukan rukhsah bagi musafir seperti qashr salat dan semacamnya.
  9. Wanita yang sedang memiliki darah istihadah (darah yang keluar terus-menerus di luar waktu haid) dan orang beser (dikit-dikit kencing dan tidak bisa ditahan) sudah wudu, lantas ragu apakah hadasnya sudah terputus ataukah belum, kemudian langsung melaksanakan salat tanpa wudu lagi, maka salatnya tidak sah.
  10. Seseorang melakukan tayamum, kemudian ia melihat sesuatu yang belum pasti apakah yang dilihatnya fatamorgana ataukah memang air, maka dalam hal ini tayamumnya batal, meskipun akhirnya sesuatu itu terbukti hanyalah sebuah fatamorgana.
  11. Seseorang memanah hewan buruan, beberapa saat kemudian hewan itu menghilang dan muncul lagi dalam kondisi mati. Lantas ia ragu apakah hewan tersebut mati karena selain panahnya, seperti terlempar batu ataupun jatuh. Maka dalam kasus ini, hewan tersebut tidak halal dimakan.

Kemudian Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَزَادَ فِيْهَا النَّوَوِيُّ عِدَّةْ ¤ كَذَلِكَ السُّبْكِيُّ زَادَ بَعْدَهْ

“Imam an-Nawawi menambahkan beberapa permasalahan, begitu pula Imam as-Subki.”

Dari nadzom di atas dapat diketahui bahwa Imam an-Nawawi (w. 676 H) juga menambahkan beberapa pengecualian dari kaidah universal kedua ini (اليقين لا يُزال بالشك), yaitu:

  1. Bila ada orang-orang ragu perihal waktu salat jumat, apakah waktunya sudah habis ataukah belum. Maka dalam hal ini mereka tidak boleh melaksanakan salat jumat.
  2. Seseorang telah berwudu, kemudian ia ragu apakah sudah membasuh kepala ataukah belum. Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat; Pendapat ashah menyatakan sah, dan tidak bisa dikatakan bahwa hukum asalnya ialah belum mengusap kepala, karena hal ini termasuk pengecualian.
  3. Seseorang telah selesai menunaikan salat, seiring berjalannya waktu lalu ia melihat najis di badan atau pakaiannya. Lantas ia pun ragu apakah najis tersebut ada setelah selesai salat ataukah sebelumnya. Maka dalam kasus ini salatnya dihukumi sah, sehingga tidak wajib diulangi.

Kemudian Syekh Tajuddin as-Subki (w. 771 H) pun menambahkan pengecualian dari kaidah universal kedua ini, di antaranya yaitu:

  • Kasus makmum yang datang dari depan imam, kemudian ia ragu apakah posisinya lebih maju daripada imamnya ataukah tidak. Merujuk pada kitab al-Majmu’ Syarh Muhadzab karya Imam an-Nawawi bahwa pendapat sahih mengabsahkan salatnya, meski hukum asal menyatakan ia lebih maju dari imam karena ia datang dari depannya.

Q. Macam-Macam Keraguan

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَالشَّكُّ أَضْرُبٌ ثَلَاثَةْ أُخْرَى ¤ شَكٌّ عَلَى أَصْلٍ مُحَرَّمٍ طَرَا

وَمَا عَلَى أَصْلٍ مُبَاحٍ يَطْرَا ¤ وَمَا يَكُوْنُ أَصْلُهُ لَا يُدْرَى

“Keraguan selain yang sudah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya ada tiga macam. Ragu pada perkara yang asalnya haram, ragu pada perkara yang asalnya mubah dan ragu pada perkara yang asalnya tidak diketahui.”

      Kemudian Syekh Abu Hamid al-Isfarayini (w. 406 H) menjelaskan bahwa keraguan (شك) ada tiga macam, yaitu:

1) Ragu pada perkara yang asalnya haram.

Misalnya seperti: Seandainya di suatu daerah yang penduduknya terdiri dari orang-orang muslim dan mayoritas non-muslim ditemukan hewan sembelihan. Maka hukum hewan sembelihan tersebut haram dikonsumsi, kecuali jika diketahui dengan jelas bahwa hewan itu disembelih oleh orang muslim, maka hewan itu dihukumi halal. Keharamannya ini karena hukum asalnya ialah haram dan diragukan kehalalannya.

Beda halnya jika penduduk daerah tersebut mayoritasnya muslim, maka sembelihan itu halal serta boleh mengonsumsinya.

2) Ragu pada perkara yang hukum asalnya mubah.

Misalnya seperti: Seseorang menemukan air yang berubah, yang mana perubahannya dimungkinkan karena terkena najis, dan mungkin pula karena kelamaannya, maka air itu boleh digunakan untuk bersuci, dengan alasan bahwa hukum asal menyatakan air itu suci dan keraguan tersebut tidak dapat memengaruhi hukum asal.

3) Ragu pada perkara yang hukum asalnya tidak diketahui.

Misalnya seperti: Mengadakan transaksi dengan orang yang pada hartanya terdapat harta yang haram. Maka hukum transaksi tersebut diperbolehkan selama tidak haram. Namun hukumnya makruh, karena khawatir terjerumus pada transaksi dengan harta haram.

Kemudian Syekh Izzudin bin Abdissalam (w. 660 H) berpendapat: “Maka tatkala semakin banyak harta haram yang dimiliki seseorang, maka hukum makruh bertransaksi dengannya semakin kuat. Dan semakin sedikit harta haramnya, maka semakin ringan hukum makruh bertransaksi dengannya.”

R. Istilah Syakk dan Dzon dalam Kitab Fikih

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَالشَّكُّ وَالظَّنُّ بِمَعْنَى فَرْدِ ¤ فِيْ كُتُبِ الْفِقْهِ بِغَيْرِ جَحْدِ

 “Keraguan dan dugaan ialah satu makna dalam beberapa kitab fikih tanpa ada yang menentang.”

        Sebagaimana Imam an-Nawawi (w. 676 H) berpendapat bahwa dalam beberapa bab fikih antara syakk (keraguan) dan dzon (dugaan) dianggap sama maknanya baik dalam pembahasan air, hadas, najis, salat talak dll yaitu:

الشَّكُّ هُوَ التَّرَدُّدُ بَيْنَ وُجُوْدِ الشَّيْءِ وَعَدَمِهِ سَوَاءٌ كَانَ الطَّرْفَانِ فِي التَّرَدُّدِ سَوَاءٌ أَوْ أَحَدُهُمَا رُجْحَانٌ

“Syakk ialah kebimbangan/keraguan antara adanya sesuatu dan tidak adanya, baik keduanya setara ataupun salah satunya lebih unggul.”

            Adapun ulama usul fikih membedakan antara syakk dengan dzon:

الشَّكُّ هُوَ التَّرَدُّدُ بَيْنَ شَيْئَيْنِ عَلَى السَّوَاءِ

“Syakk ialah kebimbangan/keraguan antara dua hal yang setara.”

الظَّنُّ هُوَ التَّرَدُّدُ مَعَ رُجْحَانِ أَحَدِ الطَّرْفَيْنِ

“Dzon ialah kebimbangan/keraguan disertai dengan mengunggulkan salah satu di antara keduanya.”

Akan tetapi, ternyata Imam as-Zarkasyi (w. 794) membantah pernyataan Imam an-Nawawi di atas. Hal ini berdasarkan bukti-bukti nyata dalam beberapa persoalan fikih, di antaranya yaitu:

  1. Tatkala seseorang memakan makanan orang lain, hukumnya diperbolehkan jika ada dugaan (dzon) bahwa pemilik makanan tersebut pasti merelakannya. Namun jika ia ragu (syakk), apakah pemiliknya pasti merelakan ataukah malah sebaliknya, maka makanan itu tidak halal baginya.
  2. Wajibnya naik kapal laut untuk ibadah haji ketika ada dugaan (dzon) selamat. Namun bila meragukan (syakk) akan keselamatannya, maka tidak wajib.

S. Penutup

Istilah al-ashl (الأصل) pada seluruh permasalahan yang telah dibahas diungkapkan dengan istilah istishab (الاستصحاب), sebagaimana Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

خَاتِمَةٌ وَالْأَصْلُ قَدْ يُعَبَّرُ ¤ عَنْهُ بِالْاِسْتِصْحَابِ فِيْمَا يَحْضُرُ

 “Penutup. Al-Ashl kadang diungkapkan dengan istilah istishab.”

       Yang mana Imam as-Suyuthi (w. 911 H) memberikan keterangan perihal al-ashl dan istishab dalam kitabnya al-Asybah wa an-Nadzair:

وَهُوَ الْاِسْتِصْحَابُ الْمَاضِي فِي الْحَاضِرِ

“Yaitu menetapi hukum yang dahulu untuk menghukumi perkara yang terjadi sekarang.”

       Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa istishab ialah menetapkan hukum yang berlaku pada masa lalu untuk masa kini sampai ada dalil/bukti yang mengubahnya.


والله أعلم

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah yang ke-1: Segala Sesuatu Tergantung pada Tujuannya

Gambaran Besar Pembahasan Kitab Nadzom Al-Fara'id Al-Bahiyah