Kaidah yang ke-1: Segala Sesuatu Tergantung pada Tujuannya

 


الْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

 “Segala Sesuatu Tergantung pada Tujuannya”

 

A. Dasar Hukum Kaidah

Dasar hukum kaidah ini yaitu Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam:

« إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ »

Sesungguhnya amalan itu tergantung kepada niatnya. (H.R. Bukhari, no. 1, Abu Dawud no. 2201, Ibnu Majah no. 4227)

       Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa sahnya perbuatan itu tergantung pada niatnya. Perbuatan yang dimaksud dalam bab ini yaitu semua bentuk aktivitas yang dilakukan oleh anggota badan termasuk berucap, karena berucap dilakukan oleh mulut, seperti wudu atau membaca.

B. Pengertian Niat

            Imam Al-Mawardi (w. 450 H) mendefinisikan niat sebagai berikut:

النِّيَّةُ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَنًا بِفِعْلِهِ

Niat ialah menyengaja mengerjakan suatu perkara disertai dengan perbuatan.”

      Imam al-Ghazali (w. 505 H) berpendapat bahwa niat dalam ibadah adalah perkara mudah. Niat menjadi sulit itu setidaknya karena dua faktor:

Pertama, karena tidak mengerti hakikat niat.

Kedua, karena waswas.

C. Pendapat Ulama Mengenai Hadis di atas

Syekh Ibn Ahdal (w. 1035 H) dalam nadzomnya menuliskan:

قَالُوْا وَذَا الْحَدِيْثُ ثُلُثُ الْعِلْمِ ¤ وَقِيْلَ رُبْعُهُ فَجُلَّ بِالْفَهْمِ

Para ulama mengatakan hadis ini merupakan 1/3 dari ilmu. Dan menurut pendapat lain ¼ ilmu, maka pahamilah dengan baik.”

    Dari statement di atas, dapat diketahui bahwa dalam masalah ini terdapat dua pendapat mengenai hadis tersebut:

1.      Pendapat Pertama

Imam asy-Syafi (w. 204 H), imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dan yang lainnya sepakat bahwa hadis tentang niat di atas merupakan 1/3 ilmu.

Maksud hadis di atas merupakan 1/3 ilmu yaitu karena hadis tersebut menjadi salah satu dari tiga hadis yang semua permasalahan fikih dikembalikan padanya, yaitu:

١) « إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ »

Sesungguhnya amalan itu tergantung kepada niatnya. (H.R. Bukhari, no. 1, Abu Dawud no. 2201 & Ibnu Majah no. 4227)

٢) « مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ »

Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak.” (H.R. Muslim no. 1718 & Ibn Majah no. 14)

٣) «  الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ  »

“Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas.” (H.R. Bukhari no. 52, Tirmidzi no. 1205, Ibn Majah no. 3984)

2.      Pendapat Kedua

Menurut sebagian ulama, hadis tentang niat di atas merupakan ¼ ilmu. Sebagaimana pendapat imam Abu Dawud bahwasanya pokok sunnah itu dibangun atas empat hadis:

١) « إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ »

Sesungguhnya amalan itu tergantung kepada niatnya. (H.R. Bukhari, no. 1, Abu Dawud no. 2201, Ibnu Majah no. 4227)

٢) « مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ »

Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.” (H.R. Tirmidzi no. 2317, Ibn Majah no. 3976)

٣) « الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ »

“Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas.” (H.R. Bukhari no. 52, Tirmidzi no. 1205, Ibn Majah no. 3984)

 

٤) «  إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا »

“Sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik pula. (H.R. Muslim no. 1015, Tirmidzi no. 2989)

 

Kemudian Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَهُوَ فِي السَّبْعِيْنَ بَابًا يَدْخُلُ ¤ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيُّ يُنْقَلُ

Hadis tersebut masuk dalam 70 bab, demikian yang dikutip dari imam Syafi’i.”

        Jadi menurut imam Syafii hadis di atas masuk pada 70 bab fikih. Bahkan menurut imam as-Suyuthi, hadis tersebut masuk pada lebih dari 70 bab fikih, baik berupa:

  • Ibadah seperti: wudu, mandi besar, mengusap khufain, tayamum, menghilangkan najis, solat dan macamnya, khutbah jumat, azan, zakat, puasa, itikaf, kurban, haji, umroh dan lainnya.
  • Muamalat seperti: jual beli, hibah, sewa menyewa dan lainnya.
  • Munakahat seperti nikah, melamar dan lainnya.
  • Jinayat, seperti pada qishas untuk membedakan antara pembunuhan yang disengaja serta direncanakan dan pembunuhan karena kecelakaan dan lainnya.
  • Bahkan pada perkara mubah seperti makan dan minum yang apabila diniati untuk mendapatkan kekuatan agar mampu melaksanakan ibadah, maka perbuatan tersebut bisa menghasilkan pahala, dan lain sebagainya. Sebagaimana terdapat kaidah yang menyatakan: 

    لَا ثَوَابَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ

    “Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat.”

D. Maksud/Tujuan Niat

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

مَقْصُوْدُهَا التَّمْيِيْزُ لِلْعِبَادَةْ ¤ مِمَّا يَكُوْنُ شِبْهَهَا فِي الْعَادَة

كَمَا تَمِيْزُ بَعْضَهَا مِنْ بَعْضِ ¤ فِيْ رُتَبٍ كَالْغَسْلِ وَالتَّوَضِي

“Maksud/Tujuan niat adalah membedakan ibadah dari adat yang serupa dengannya. Begitu juga untuk membedakan antara satu bentuk ibadah dengan yang lain seperti mandi besar dan wudu.”

            Secara garis besar maksud niat ada dua, yaitu:

1) Untuk membedakan antara ibadah dan adat. Contohnya seperti:

  • Wudu dan mandi, karena dalam ibadah terdapat aktivitas yang sama dengan adat ketika orang melakukan wudu atau mandi. Apakah ia melakukannya karena untuk membersihkan badan, mencari kesegaran ataukah karena ibadah. Maka niat itu disyariatkan untuk membedakan di keduanya.
  • Puasa. Orang tidak makan dan minum bisa jadi karena tidak punya uang untuk membeli makanan atau minuman, tidak selera, sedang sakit ataukah memang punya tujuan untuk ibadah, tentu saja aktivitas tersebut sama dan tidak bisa dibedakan. Nah maka dari sinilah yang membedakan adalah niatnya.
  • Menyerahkan harta. Adakalanya tujuannya zakat, sedekah, membayar hutang atau justru karena tujuan lain.

2) Untuk membedakan tingkatan ibadah wajib atau sunah. Sebagaimana salat yang mana bentuknya antara salat wajib dan sunah sama, maka tentu yang membedakan itu adalah niatnya.

E. Menentukan Ibadah dengan Niat

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَيُشْتَرَطُ التَّعْيِيْنُ فِيْمَا يَلْتَبِسْ ¤ دُوْنَ سِوَاهُ فَاحْفَظِ الْأَصْلَ وَقِسْ

  “Dalam niat disyaratkan menentukan ibadah pada ibadah yang serupa (dengan ibadah lainnya), dan tidak disyaratkan niat pada ibadah selainnya, maka perhatikan batas ini dan berlakukan pada beberapa hukum.”

Sebagaimana terdapat kaidah yang menyatakan:

مَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعَرُّضُ فَالْخَطَأُ فِيْهِ مُبْطِلٌ

 “Suatu amalan yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahannya (dapat menyebabkan) batalnya perbuatan tersebut

Maksud menentukan ialah penyebutan zuhur atau asar ketika akan salat. Karena antara keduanya sama dalam segala sisi, maka untuk membedakannya harus ada niat penentuan salat tersebut. Begitu pula dalam salat rawatib, harus ada penyebutan qabliyah atau ba’diyah.

Adapun perkara yang tidak perlu penentuan menurut syekh Izzudin bin Abdissalam seperti salat hari raya adha dan fitri. Namun pendapat ini ditolak karena, karena penentuan penyebutan dalam kedua salat ‘idain tersebut justru disyaratkan.

F. Adakalanya Suatu Ibadah Tidak Wajib Disebutkan Secara Terperinci dalam Niat

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَحَيْثُ مَا عُيِّنَ وَالتَّعْيِيْنُ لَا ¤ يُشْرَطُ تَفْصِيْلًا وَأَخْطَا بَطَلَا

 “Sekiranya satu ibadah ditentukan, sementara niat menentukan tidak disyaratkan secara terperinci, dan penentuannya salah, maka ibadah itu batal.”

        Dari nazdom di atas dapat diketahui bahwa terdapat suatu perkara yang wajib disebutkan secara umum saja dan tidak wajib disebutkan secara terperinci, yang mana bilamana disebutkan secara rinci dan terjadi kesalahan tatkala penyebutannya, maka justru hukumnya ibadah tersebut menjadi batal.

    Sebagaimana terdapat kaidah yang menyatakan:

مَا يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَلَا يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلًا إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ ضَرٌّ

  “Suatu amalan yang (dalam niatnya) disyaratkan penentuannya itu  secara global dan tidak disyaratkan dalam penentuannya itu secara terperinci, maka ketika seseorang menyatakannya secara terperinci dan ternyata salah, maka kesalahannya menjadi mudarat

Contoh: Seorang santri niat bermakmum kepada Zaid, dan ternyata yang menjadi imam adalah Ahmad, maka salat makmum batal selama tidak menunjuk atau memberi isyarat kepada imam. 

    Nah maka dalam contoh tersebut, makmum wajib niat secara umum saja, yaitu menjadi makmum dari imamnya tanpa berkewajiban menentukan siapa yang jadi imam, sedangkan dalam contoh di atas ia telah salah menyebutkan nama imam, maka salatnya tidak sah.

G. Pendapat Ulama Mengenai Mewakilkan Niat Pada Orang Lain

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَمَا كَفَى التَّوْكِيْلُ فِيْهَا أَصْلَا ¤ وَاسْتَثْنِيَنْ مَهْمَا تُقَارَنْ فِعْلَا

 “Niat tidak cukup diwakilkan, kecuali bila bersamaan dengan pekerjaannya.”

Dari nazdom di atas dapat diketahui bahwa tidak boleh mewakilkan niat pada orang lain, kecuali bersamaan dengan pekerjaannya. Dan ini merupakan pendapat imam Ibn al-Qash (w. 335 H) yang diikuti oleh Imam as-Suyuthi (w. 911 H).

Sementara menurut Imam Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H) dalam kitabnya Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj beliau berpendapat bahwa mewakilkan niat saja tanpa perkerjaannya itu boleh dan sah. Sebagaimana orang yang hendak berkurban, ia boleh mewakilkan niat sekaligus penyembelihan hewan kurbannya, ataupun mewakilkan niat saja pada seseorang dan penyembelihan diwakilkan pada orang lain. Maka dalam hal ini hasil penyembelihannya dihukumi sah.

H. Hendaknya Ikhlas dengan Perkara yang Diniati

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَاعْتُبِرَ الْإِخْلَاصُ فِي الْمَنْوِيِّ

 “Disyaratkan ikhlas pada perkara yang diniati.”

    Dari nadzom di atas dapat diketahui bahwa hendaknya kita ikhlas dengan perkara yang diniati, semata-mata ibadah hanya untuk Allah Swt. Tanpa maksud lain, dan tidak karena menuruti hawa nafsu. Sebagaimana Allah berfirman:

﴿ قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ  ¤ لَا شَرِيكَ لَهُۥۖ

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya.” (Q.S. Al-An’am [6]: 162-163)

﴿ وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas dan menaati-Nya, semata-mata karena (menjalankan) agama.” (Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5)

    Maka ibadah yang tujuannya disekutukan karena Allah Swt. dan kepentingan lain, hukumnya tidak sah. Misalnya seperti seseorang yang menyembelih hewan kurban karena Allah dan karena berhala, maka tentu saja niat karena berhala ini berakibat daging sembelihan hewan kurban tersebut menjadi haram, sehingga membatalkan ibadah.

I. Pembahasan Tasyrik/Penyekutuan dalam Niat

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

فَلَا تَصِحُّ بِالتَّشْرِيْكِ فِيْمَا نُقِلَا

وَاسْتُثْنِيَتْ أَشْيَاءُ كَالتَّحِيَّةْ ¤ مَعْ غَيْرِهَا تَصِحُّ فِيْهَا النِّيَّةْ

 “Maka tidak sah niat ibadah dicampur dengan yang lain. Dikecualikan beberapa permasalahan seperti salat tahiyat masjid yang sah ketika bersamaan dengan salat lainnya”

    Kemudian syekh Yasin al-Fadani dalam kitab Al-Fawaid Al-Janiyah menjelaskan bahwa penyekutuan niat sah hukumnya dalam beberapa perkara, dan penyekutuan dalam niat dibagi sebagaimana berikut:

1) Niat ibadah dicampur dengan perkara lain yang bukan ibadah, maka tidak membatalkan ibadah. Contohnya seperti membaca ayat al-Qur’an pada waktu salat dengan tujuan membaca al-Qur’an dan memberi pemahaman terhadap orang lain.

2) Niat ibadah Fardhu dicampur dengan niat ibadah sunah. Pada pembagian ini ada beberapa macam bentuk, dan hukumnya adalah:

  • Keduanya tidak batal dan dianggap sah. Seperti melakukan mandi besar dengan niat menghilangkan hadas junub dan mandi sunah jumat. Maka keduanya sah menurut pendapat sahih.
  • Yang dihukumi sah hanya fardhu. Seperti niat haji fardhu dan sunah, maka yang dihukumi sah hanya haji fardhu. Sebab bila diniati sunah, maka menjadi fardhu secara otomatis.
  • Yang dihukumi sah hanya ibadah sunah. Seperti halnya mengeluarkan sejumlah uang dengan niat zakat dan sedekah sunah, maka yang dihukumi sah adalah sedekah sunahnya.

    3) Niat ibadah fardhu dengan fardhu lain. Seperti niat mandi dan wudu bersamaan, maka dianggap sah keduanya. 

    4) Niat sunah dicampur dengan sunah lain. Seperti niat mandi sunah jumat dan sunah ‘id, maka keduanya dihukumi sah.

J. Waktu Niat

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَوَقْتُهَا فِيْ قَوْلِ كُلِّ قَادَةْ ¤ مُقَارِنٌ لِأَوَّلِ الْعِبَادَةْ

وَنَحْوِهَا وَاسْتُثْنِيَتْ مِنْهُ صُوَرْ ¤ كَالصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ مِمَّا قَدْ ذَكَرْ

“Menurut (ulama) yang bisa diikuti jejaknya, waktu niat adalah bersamaan dengan awal ibadah, sebagaimana perkara yang bukan ibadah, kecuali dalam beberapa hal seperti puasa dan zakat lainnya yang di sebutkan dalam kitab asal

    Dari nadzom di atas dapat diketahui bahwa waktu niat ialah saat permulaan ibadah. Misalnya dalam wudu, waktu niatnya adalah ketika membasuh wajah, karena wajah adalah bagian pertama yang difardhukan. Maka niat yang dilakukan setelah membasuh wajah tidak cukup.

        Dikecualikan dari ketetapan di atas (niat berada di awal ibadah) yaitu puasa wajib, karena niatnya tidak harus berada di awal ibadah. Bahkan puasa wajib tidak sah apabila niat bersamaan dengan permulaan ibadah, karena justru (dalam mazhab syafi’i) kewajiban melakukan niatnya itu harus di malam hari. Beda halnya dengan puasa sunah, yang mana niatnya boleh dilakukan di permulaan puasa sampai sebelum masuk waktu zuhur.

    Membayar zakat juga dikecualikan dari ketetapan di atas, hanya saja niat zakat boleh dilakukan bersamaan dengan membayarnya.

K. Tempat Niat

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

أَمَّا مَحَلُّهَا فَقَلْبُ النَّاوِيْ ¤ فِيْ كُلِّ مَوْضِعٍ بِلَا مُنَاوِيْ

فَلَيْسَ يَكْفِي اللَّفْظُ بِاللِّسَانِ ¤ مَعَ انْتِفَائِهَا مِنَ الْجَنَانِ

وَالْقَلْبُ وَاللِّسَانُ حَيْثُ اخْتَلَفَا¤ فَلْيُعْتَبَرْ بِالْقَلْبِ مِنْ غَيْرِ خَفَا

“Tempat niat adalah hati orang yang berniat, tanpa perbedaan pendapat di antara ulama. Niat tidak cukup hanya dengan pelafalan di lisan saja tanpa adanya niat di hati. Sekiranya hati dan lisan berbeda, maka yang dianggap adalah apa yang ada di hati

    Dari nadzom di atas dapat diketahui bahwa tempat niat ialah di hati, bukan pada yang lain. Maka oleh karena itu, niat tidak cukup hanya dengan pelafalan lisan saja tanpa disertai dengan niat di hati.

    Maka tatkala terdapat perbedaan antara apa yang diucapkan oleh mulut dengan apa yang ada di hati, maka dalam hal seperti itu yang dianggap adalah niat atau tujuan yang ada di hati karena itu merupakan maksud sebenarnya yang diniati oleh pelakunya. Sebagaimana terdapat kaidah yang menyatakan:

لَوِ اخْتَلَفَ اللِّسَانُ وَالْقَلْبُ فَالْمُعْتَبَرُ مَا فِي الْقَلْبِ

Sekiranya berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada dalam hati, maka yang dijadikan pegangan ialah apa yang ada dalam hati

    Misalnya seperti ada seseorang yang dalam hatinya berniat salat zuhur, sementara lisannya melafalkan niat salat asar, maka yang dianggap ialah niat yang ada di hatinya. Contoh lain, ada seseorang dengan tanpa sengaja mengacapkan sumpah serapah, maka sumpahnya tidak dianggap sah.

L. Syarat-syarat Niat

    Syarat-syarat niat dalam kitab al-Faraid al-Bahiyah karya syekh Ibn Ahdal ada 4, yaitu:

1) Islam.

    Karenanya niat ibadah non-muslim tidak sah. Menurut pendapat lain, mandinya sah bukan wudu dan tayamumnya.

2) Tamyiz.

    Karenanya ibadah anak kecil yang belum tamyiz hukumnya tidak sah, begitu pula orang gila. Akan tetapi dari syarat ini ada yang dikecualikan seperti wanita gila yang haid, lalu suaminya memandikan sekaligus berniat menghilangkan hadas besarnya, maka dihukumi sah. Sedangkan tujuan memandikannya adalah agar halal untuk disetubuhi.

3) Mengetahui perkara yang diniati. 

  Maka tatkala ada orang yang tidak mengerti kefardhuan wudu atau salat, maka tidak sah melakukannya.

4)Tidak ada munafi (yang bertentangan dengan niat).

Karenanya bila ada seseorang murtad di tengah-tengah salat, haji ataupun puasa, maka tentu semua ibadahnya itu batal.

Atau misalnya, di tengah-tengah salat ada orang yang berniat memutus salat, maka seketika itu pula salatnya dihukumi batal. Sebab ulama menyamakan salat dengan permasalahan iman. Akan tetapi masalah ini tidak berlaku dalam hal puasa, maksudnya yaitu jika ada seseorang yang berniat memutus puasa saat puasa, maka menurut pendapat ashah hal tersebut tidak membatalkan puasa. Karena dalam hal ini puasa berbeda dengan salat, sebab salat itu merupakan ibadah yang memiliki kekhususan dibanding ibadah lain. Di antaranya, rangkaian salat tidak bisa diselingi dengan perbuatan lain. Salat merupakan komunikasi langsung dengan sang Maha Kuasa (munajat).

M. Apakah Niat Termasuk Syarat atau Rukun Suatu Ibadah?

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَاخْتَلَفُوْا هِيَ رُكْنٌ أَوْ تُعَدُّ ¤ شَرْطًا وَمَا قُدِّمَ فَهْوَ الْمُعْتَمَدْ

“Ulama berbeda pendapat apakah niat termasuk syarat ataukah rukun suatu ibadah. Pendapat pertama ialah yang dibuat pegangan

        Jadi dalam pembahasan ini, ulama berbeda pendapat apakah niat itu termasuk rukun ataukah syarat suatu ibadah.

        Mayoritas ulama berpendapat bahwa niat merupakan rukun suatu ibadah, sebab niat itu berada dalam rangkaian ibadah, berbeda halnya dengan syarat yang mendahului dan harus selalu ada pada saat suatu ibadah dilaksanakan. Dan niat itu tidak perlu diniati lagi agar tidak terjadi tasalsul (runtunan sambung-menyambung yang tiada ujungnya).

        Sedangkan Qadhi Abu Thayyib (w. 450 H) dan Ibn Shabagh (w. 477 H) berpendapat bahwa niat merupakan syarat suatu ibadah, sebab seandainya niat dianggap sebagai rukun, niscaya akan membutuhkan niat lagi.

        Sedangkan imam Al Ghazali (w. 505 H) merinci masalah ini. Beliau berpendapat bahwa niat dalam puasa termasuk rukun, akan tetapi dalam salat termasuk syarat. Dan pernyataan ini berbanding terbalik dengan pendapat imam Ar-Rafi’i (w. 623 H) & imam An-Nawawi (w. 676 H) yang mana mereka berpendapat bahwa niat dalam puasa adalah syarat sedangkan niat dalam salat adalah rukun.

N. Niat Bisa Mengkhususkan Perkara yang Umum dan Tidak Sebaliknya

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَفِي الْيَمِيْنِ خَصَّصَتْ مَا عَمَّا ¤ وَلَمْ تُعَمِّمْ مَا يَخُصُّ جَزْمَا

“Dalam sumpah, niat bisa mengkhususkan perkara yang umum, dan tidak bisa membuat umum perkara yang khusus tanpa ada khilaf

    Jadi maksudnya yaitu tatkala seseorang mengucapkan lafal sumpah yang bersifat umum yang memuat beberapa bagian, maka niat mengkhususkan sebagiannya itu dapat memengaruhi sumpah.

    Misalnya seperti ada orang yang mengucapkan sumpah bahwa ia tidak akan berbicara pada siapapun, akan tetapi yang diniatinya hanya tidak akan bicara pada Zaid, maka niat tidak berbicara secara khusus kepada Zaid itulah yang dianggap. Sehingga bila ia berbicara kepada Ahmad misalnya, maka orang tersebut tidak melanggar sumpah.

    Kemudian imam Ar-Rafi’i (w. 623 H) yang diikuti oleh imam An-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab Raudhah ath-Thalibin berpendapat bahwa niat itu tidak bisa mengubah sumpah yang bersifat khusus menjadi umum.

    Misalnya seperti ada orang yang bersumpah bahwa ia tidak akan meminum air dari orang yang sering mengungkit-ungkit pemberian yaitu Zaid, maka ia tidak melanggar sumpah tatkala ia memakan daging/buah atau memakai pakaian milik Zaid, meskipun ia sebenarnya berniat juga tidak akan memanfaatkan barang-barang yang dimiliki oleh Zaid.

O. Maksud Lafal Tergantung Pada Niat Orang yang Mengucapkannya

        Imam as-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya al-Asybah wa na-Nazair menuliskan:

مَقَاصِدُ اللَّفْظِ عَلَى نِيَّةِ اللَّافِظِ إِلَّا فِيْ مَسْأَلَةٍ وَاحِدَةٍ

“Beberapa maksud lafal tergantung pada niat orang yang mengucapkannya kecuali satu permasalahan

    Salah satu penerapan kaidah di atas yaitu: Misalnya ada orang junub memasukan tangannya ke suatu wadah/bak kecil. Tatkala ia berniat menghilangkan hadas, maka seketika itu pula airnya menjadi musta’mal. Akan tetapi bila niatnya hanya mengambil air saja, maka air tersebut tetap suci menyucikan. Sedangkan bila ia tidak berniat apapun, maka dalam hal ini terdapat 2 pendapat, dan pendapat ashah menganggap air itu menjadi musta’mal.

    Dan ada satu permasalahan yang dikecualikan dari kaidah di atas sebagaimana juga terdapat dalam kitab nadzhom al-Faraid al-Bahiyah:

وَاسْتُثْنِيَ الْيَمِيْنُ عِنْدَ مَنْ حَكَمْ ¤ فَهِيَ عَلَى نِيَّتِهِ لَا ذِي الْقَسَمْ

“Dan dikecualikan sumpah di hadapan hakim, maka yang dianggap adalah maksud dari hakim, bukan orang yang bersumpah

 Sebab andaikan niat itu diserahkan pada terdakwa, maka tentu hal tersebut akan memudahkannya untuk melakukan tipu muslihat.

P. Terkadang Ibadah Fardhu itu Dihukumi Sah dengan Niat Sunah

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

وَالْفَرْضُ رُبَّمَا تَأَدَّى فِعْلُهُ ¤ بِنِيَّةِ النَّفْلِ اسْتَبَانَ نَقْلُهُ

“Perbuatan fardhu terkadang dihukumi sah dengan niat sunah, di mana nukilan keluarnya hal ini dari hukum asal telah jelas

    Kaidah asal itu menjelaskan bahwasanya ibadah fardhu tidak dapat dilaksanakan dengan niat sunah. Namun sebagaimana nadzom di atas bahwa terkadang ibadah fardhu itu bisa dihasilkan dengan niat sunah. Misalnya seperti:

  • Ada seseorang sedang salat, tatkala saat duduk tasyahud akhir, ia menyangka tasyahud awal, lalu tak lama kemudian ia ingat bahwa duduknya adalah tasyahud akhir, maka duduknya itu sah sebagai tasyahud akhir dan mencukupi kefardhuannya.
  • Ada orang salat, sesudah duduk istirahah pada saat berdiri teringat telah meninggalkan satu duduk rukun seperti duduk di antara 2 sujud misalnya, maka duduk istirahahnya bisa mengganti duduk rukun tersebut.

Q. Penutup

Syekh Ibn Ahdal dalam nadzomnya menuliskan:

خَاتِمَةٌ وَاعْلَمْ بِأَنَّ النِّيَّةْ ¤ بِحَسْبِ الْأَبْوَابِ فِي الْكَيْفِيَّةْ

كَنِيَّةِ الْوُضُوْءِ وَالصَّلَاةِ ¤ وَالْحَجِّ وَالصِّيَامِ وَالزَّكَاةِ

“Penutup. Ketahuilah, bahwa tata cara niat itu sesuai dengan babnya masing-masing. Seperti niat wudu, salat, haji, puasa dan zakat

Sebagai penutup pembahasan kaidah ini, syekh Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi (w. 1201 H) menjelaskan dalam kitabnya al-Mawahib as-Saniyah bahwasanya tata cara niat itu disesuaikan dengan babnya masing-masing, semisal:

  • Niat wudu, yang mana bertujuan untuk menghilangkan hadas yang menghalangi ibadah seperti salat dll.
  • Niat salat, yang berbeda dengan niat wudu. Sebab salat adalah kesengajaan mengeluarkan ucapan dan melakukan perbuatan dengan cara-cara khusus yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
  • Niat haji, yaitu kesengajaan memasuki manasik dan ihram yang berkonsekuensi mengharamkan beberapa hal yang sebelumnya halal.
  • Niat puasa, yaitu kesengajaan menahan sesuatu dengan ketentuan-ketentuan khusus.
  • Niat zakat, yaitu mengeluarkan kadar harta tertentu dari harta tertentu.

والله أعلم

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah yang ke-2: Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan

Gambaran Besar Pembahasan Kitab Nadzom Al-Fara'id Al-Bahiyah